Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Antara Sastra dan Religiositas

24 Mei 2022   20:03 Diperbarui: 29 Oktober 2022   17:12 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Y.B. Manungwijawa adalah pemenang hadiah sastra 1982, dari Dewan Kesenian Jakarta untuk esei atau kritik sastra. Karya seorang rohaniwan yang lebih akrab dipanggil Romo Mangun ini, diterbitkan dalam bentuk buku oleh Penerbit Kanisius dengan judul "Sastra dan Religiositas". 

Artikel ini, merupakan sebuah resume dari buku yang dicetak pada tahun 1988 tersebut. Bagi saya, ini adalah salah satu buku zaman lawas, tapi pesannya laras zaman. 

Pada pengantar buku itu, Romo Mangun mengatakan bahwa di samping penelitian yang bersifat ilmiah, untuk memahami dan menolong manusia serta masyarakat, dunia sastra masih tetap memegang peran vital dalam bidang yang sama. Dalam dimensi-dimensi yang begitu dalam seperti religiositas manusia yang menentukan sikap kita terhadap diri sendiri, buah-buah sastra mengisi apa yang tidak mungkin diisi oleh ilmu pengetahuan dan ikhtiar-ikhtiar kemanusiaan lain. 

Pengolahan religius manusia lazimnya hanya dapat dikomunikasikan melalui bahasa lambang dan persentuhan citarasa, sarana sastra sangat bermanfaat.

Religius/ Religiositas dan Religi (Agama)

Penulis Novel Burung-burung Manyar ini dalam buku Sastra dan Religius mengawali bab pertama bukunya dengan judul Pada Awal Mula. Ya, pada awal mula Segala Sastra Adalah Religius. Sengaja di sini tidak dipakai istilah agama atau religi, tetapi religius atau religiositas. Ia kemudian menjelaskan secara panjang lebar tentang agama dan religiositas. 

Baginya, agama lebih menunjuk pada sebuah lembaga kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. 

Sedangkan religiositas lebih melihat aspek yang "di dalam lubuk hati", riak getaran hati nurani pribadi: sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, "du coeur" dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman si pribadi manusia.

Dengan demikian, religiositas lebih dalam dari agama yang tampaknya formal, resmi. Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban yang cirinya lebih intim. Orang beragama banyak yang religius, dan seharusnya memang demikianlah, paling tidak diandaikan seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo religiosus juga. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. 

Dapat juga orang menganut agama tertentu karena motivasi jaminan material atau kasir politik: cukup beragama "statistik" belaka. Ada yang tidak beragama, tetapi cita rasanya, sikap dan tindakannya sehari-hari pada hakikatnya religius. 

Di negeri ini kita dapat menjumpai koruptor-koruptor besar kecil, lintah-lintah darat dan penipu yang rajin beragama, tanpa prihatin sedikit pun, apakah praktek keagamaannya itu cocok atau tidak dengan kehendak Allah yang Mahabaik dan Maha Pengasih. Mereka agamawan, tetapi tidak atau bahkah jauh dari sikap religius otentik. Tentulah di sini istilah agama tidak diambil dalam arti definisi politik kenegaraan atau politik kekuasaan, tetapi dalam realita kehidupan.

Di sini muncul pertanyaan: Apakah arti agama bila tidak mampu berperikemanusiaan? Dengan kata lain: Apa arti agama tanpa religiositas? Apa artinya agama tanpa ''penuntunan manusia ke arah segala makna yang baik".  Apakah artinya jika lebih mementingkan huruf daripada roh, lebih mendahulukan tafsiran harfiah di atas cinta kasih?

Sastra dan Religiositas

Dalam membahas tentang Religiositas Langsung, Romo Mangun mengutip sebuah cerpen dari Kuntowijoyo yang berjudul "Sepotong Kayu untuk Tuhan". Dikisahkan.... Seorang lelaki tua ingin menyumbangkan kayu nangka (kayu bangunan yang paling mulia bagi orang Jawa) dari kebunnya untuk pembangunan sebuah surau di desanya. Tetapi ia ingin merahasiakan sumbangannya itu secara total, sebab ''hanya Tuhan jugalah yang diinginkannya". 

Dengan bersusah payah dan melalui liku-liku, berhasilah ia dalam kegelapan malam (saat paling keramat bagi orang mistik) menghanyutkan segelondong kayu sumbangannya itu di sungai, sampai berhenti di tempat yang sangat dekat dengan surau. 

Pagi harinya sedini mungkin, inginlah kayu itu ia letakkan di muka surau. Agar orang-orang, seperti mengalami mukjizat, akan bertanya heran, dari mana kayu nangka sebesar itu datang. Tetapi pada pagi harinya, setelah ditiliknya, ternyata balok berharga itu sudah hilang, dibawa banjir malam-malam rupanya. "Sesuatu telah hilang. Tidak, tak ada yang hilang," kata lelaki tua itu ... tersenyum. "Sampai kepada-Mu-kah Tuhan?".

Dari cerpen itu, Romo Mangun memberikan tanggapan; 

Setiap mistikus atau sufi akan sampai pada titik yang dialami lelaki tua itu, pada awalnya ingin berbakti kepada Tuhan melalui sesuatu institusi yang tampak, yang jelas merupakan lambang agama. Tetapi balok itu dihanyutkan banjir, artinya oleh Yang Sejati, di luar dugaan manusia. Sumbangan si kakek sudah sempurna. Tak perlu orang tahu, siapa yang menyumbang gelondong kayu nangka itu.

Maka pertanyaan religius yang terungkap dalam sastra seperti cerpen ''Sepotong Kayu untuk Tuhan" di atas memang mengandung tanya: 

Sanggupkah agama (apa pun) mengakui, bahwa ia bukan Tuhan, tetapi hanya penolong saja, agar si Manusia sendirilah, dengan bakat-bakat dan kekurangannya, dengan keyakinannya yang eksistensial, berusaha bertanggung jawab sendiri menuju ke kedewasaannya, sehingga manusia konkret mendapat kesempatan yang cukup lapang untuk mencari sendiri dan menemukan sendiri Rahmat yang khas personal ditawarkan kepada seseorang yang tergolong orang serius?

Namun dari pihak lain, realisme kita harus mengakui juga, bahwa Rahmat Allah hanya mungkin dan subur ditemukan oleh seseorang, juga yang paling individualis sekalipun, apabila diiringi dan ditolong kawan-kawan lain dalam dialog sosial yang sehat.

Untuk menutup resume ini, saya kembali mengutip pertanyaan reflektif romo Mangun: 

Apa yang telah dan masih dapat disumbangkan oleh para sastrawan dalam persoalan eksistensial, yang menyangkut seluruh penduduk bumi kita yang semakin kecil, namun juga semakin padat dan semakin gelisah ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun