Â
Pada tahun 1981, terbitlah opu magnum Habermas berjudul "Teori Tindakan Komunikatif". Buku ini berbicara tentang ideal sebuah negara demokrasi. Kriteria demokrasi ideal tersebut adalah perbincangan antar warga yang berorientasi pada pemahaman timbal balik. Ruang publik sebagai jantung diskursif dari masyarakat tersebut tidak boleh dikuasao oleh imperatif sistem seperti ekonomi. Rasionalitas komunikatif mempertemukan yang universal dan yang lokal. Dengan berpedoman pada yang universal kita dapat membongkar endapan penindasan pada tradisi lokal (Suseno, 2005)
Kerangka Dasar Teori Tindakan Komunikatif
Untuk dapat memahami teori tindakan komunikatif Habermas, kita perlu mengetahui beberapa kerangka dasar dari teori tersebut (Kirchberger & Kleden, 2001):
Pertama, tindakan komunikatif bukan cuma penukaran gagasan tentang sesuatu, melainkan mengandung empat aspek dasar yang perlu ada secara serentak dan sekaligus menjadi norma utama komunikasi antara lain: ungkapan linguistis, tuntutan kebenaran ungkapan itu, kesadaran akan ketepatan isi ungkapan dengan tata nilai yang berlaku, dan pemakluman diri sebagai subjek yang jujur.
Sebuah komunikasi hanya akan berfungsi apabila keempat aspek ini diandaikan ada, diakui dan dipatuhi secara timbal balik oleh para peserta. Untuk itu dibutuhkan prinsip resoproksitas dan egalitas.
Kedua, komunikasi biasa antar manusia mengarah pada pencapaian saling pengertian dan kesepakatan, konsensus.
Ketiga, menerima partner bicara sebagai subyek berarti memberikannya hak dan kemungkinan untuk mengatakan persetujuan atau penolakan terhadap gagasan. Tindakan komunikatif selalu terarah pada subyek yang lain, karena itu ia bersifat intensional.
Keempat, dalam pembentukan sikap seperti ini, agama pernah memainkan peranan yang penting sebagai institusi diskusus, pemberi norma dan pencipta syarat-syarat demi sebuah diskursus yang bermuara pada konsensus.
Kelima, komunikasi yang aktual sehari-hari mengandaikan sebuah komunikasi ideal. Situasi ideal ini tidak pernah akan dicapai namun harus selalu diandaikan dalam sebuah praksis komunikasi, dalamnya kita coba mencapai konsensus.
Pragmatika Universal (Suseno, 2005)
      Habermas pertama-tama menganalisa bahasa sebagai medium komunikasi. Menurutnya, struktur bahasa mengandung rasionalitas. Dengan kata lain Habermas mencoba mengembangkan sebuah teori kompetensi komunikasi. Dalam kaitannya dengan ini, Habermas mengkritik filsafat bahasa yang selama ini berkembang yang menurutnya masih berada di wilayah refleksi diri yang kritis, tetapi belum sampai pada refleksi transendental atau yang kemudian lebih dikenal sebagai rekonstruksi rasional di mana pembicara memasuki wilayah komunikasi dengan yang lain.
Kritik Habermas diarahkan secara jelas melalui analisa kritisnya terhadap hermeneutika Gadamer. Hermeneutika Gadamer dinilainya sanggup menempatkan ilmu pengetahuan dalam konteks pengalaman manusia yang sepenuhnya ditentukan oleh tradisi, oleh kondisi sejarah tertentu. Akan tetapi Habermas mengeritik ciri ontologis dari hermeneutika Gadamer yang dinilainya menghalangi hermeneutika ini untuk menjalankan peran kritik sosial.
      Setelah menganalisa hermeneutika Gadamer, Habermas kemudian merancang sebuah teori komunikasi dengan menganalisis bahasa secara pragmatis dalam sebuah pragmatik universal. Dalam pengertian Habermas, itu berarti menganalisis bahasa dalam penggunaannya, dalam pembicaraan. Bahasa tidak hanya dapat diuraikan sebagai struktur formal, namun juga sebagai pembicaraan, dalam penggunaan kalimat dan ungkapan dengan konteks yang menentukan pemahamannya. Dengan demikian, Habermas beralih dari kaidah-kaidah teknis ke kaidah-kaidah praktis.
Selain kaidah teknis dalam bahasa yang tetap diperlukan dalam tuturan agar dapat dimengerti, Habermas juga memperlihatkan kaidah praktis di luar bahasa yang berlaku di luar komunikasi untuk memenuhi tiga macam tuntutan: kebenaran, kejujuran, dan ketepatan. Pemenuhan ketiga tuntutan ini akan menentukan kesasihan suatu komunikasi yang diandalkan untuk mencapai hasil bersama. Â Â
      Dalam analisis bahasa ini, Habermas menemukan tiga jenis penggunaann bahasa yang merujuk pada tiga macam rasio. Pertama, bahasa yang dipakai secara instrumentalis sebagai ungkapan rasio instrumentalis, kedua, bahasa yang dipakai secara strategis sebagai ungkapan rasio strategis, dan ketiga, bahasa komunikatif sebagai medium pengungkapan rasio komunikatif. Pada taraf kesadaran etis sebuah masyarakat modern yang demokratis yang mesti digunakan adalah bahasa komunikatif sebagai perwujudan rasio komunikatif (Kirchberger & Kleden, 2001)
Dunia Kehidupan Sebagai Konteks Komunikasi  Â
      Kunci untuk mengerti pemikiran Habermas adalah, distingsinya antara dunia kehidupan dan sistem. Yang dimaksudkannya dengan dunia kehidupan adalah cakrawala kepercayaan-kepercayaan latar belakang intersubyektif di dalamnya proses komunikasi selalu sudah tertanam. Setiap orang berkomunikasi dan bertindak dalam sebuah dunia kehidupan, artinya ia hidup dalam sebuah alam makna yang dimiliki bersama dengan komunitasnya (Suseno, 2005). Rasioanalitas sistim adalah rasionalitas sasaran, sedangkan rasionalitas dunia kehidupan adalah rasionalitas komunikatif.
Yang terjadi dalam sebuah komunikasi adalah kesepakatan tentang suatu masalah teoritis atau praktis. Kita hanya dapat saling mengerti dan sepakat apabila kita mempunyai suatu konteks bersama. Habermas menyebut konteks bersama sekelompok orang itu dunia kehidupan. Dunia kehidupan selalu berubah dan setiap komunikasi mengubah dan mempengaruhinya. Dengan demikian berlangsunglah rasionalisasi dunia kehidupan.
Rasionalisasi dunia kehidupan ini berkaitan juga dengan persoalan-persoalan moral. Dalam kaitan dengan ini Habermas menawarkan sebuah etika diskurus, sebagai dasar yang cocok untuk menentukan universalitas sebuah norma yang dipakai dalam sebuah kehidupan bersama yang berciri komunikatif.
Daftar Rujukan
Suseno, Franz Magnis. Pijar-pijar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p. 235.
Kirchberger, Georg dan Kleden, Paulus Budi. Sejarah Filsafat Kontemporer: Sekolah Frankfurt, Jrgen Habermas, (ms.), (STFK, 2001), pp. 28-34.
Suseno, Franz Magnis. 12 Tokoh Etika Abad Ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), p. 215Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H