Dari temuan sejumlah kasus tentang terlampau beratnya belis yang dapat memicu sejumlah dampak negatif, diperlukan satu alternatif semacam pembicaraan untuk memperoleh satu pemahaman yang lebih luas soal belis. Dialog ini harus melibatkan tetua adat, juga dapat ditunjang dengan pendekatan informal dengan masyarakat.
Menyikapi pergeseran paradigma tentang belis pada dunia kita dewasa ini, maka kita perlu membangkitkan kembali nilai sejati dari belis yakni dengan menilainya secara obyektif sebagai sesuatu yang mempunyai nilai-nilai luhur demi penghargaan terhadap martabat seorang manusia. Membangkitkan apresiasi terhadap martabat manusia mengandaikan adanya apresiasi terhadap kebudayaan setempat.Â
Dalam situasi hidup kita saat ini, perlu dibuat upaya meredefinisi simbol belis. Belis bukanlah ajang pertunjukkan prestise. Komersialisasi belis harus dihilangkan dan penekanan pada aspek komunal dan solidaritas harus diutamakan.Â
Apresiasi ini hanya diandaikan juga oleh kita sebagai manusia berbudaya. Kesadaran ini akan menggerakkan orang untuk menghargai dan mencintai budaya sendiri tanpa dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar.
Meredefinisi belis adalah upaya menuju penghargaan terhadap martabat manusia yang sering dilecehkan dalam urusan belis. Upaya yang dapat ditempuh untuk meredefinisi belis ini adalah pertama-pertama harus menyadari makna dari belis yang sesungguhnya.Â
Usaha lain yang sebenarnya merupakan realisasi praktis dari usaha yang pertama tersebut adalah dengan tidak terlalu menuntut belis yang terlalu tinggi. Belis hanyalah sebuah sarana yang dapat digunakan untuk mempersatukan hubungan cinta antara seorang pemuda dan pemudi, dan bukan sebaliknya kehadiran belis justru akan menghalang-halangi kesucian cinta yang telah ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H