Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penyatuan Tanah dan Air di Titik Nol: Sebuah Identitas Kolektif?

19 Maret 2022   07:12 Diperbarui: 19 Maret 2022   11:16 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senin, 14 Maret 2022 merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Presiden Jokowi bersama sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat dari Kalimantan Timur, melangsungkan prosesi penyatuan tanah dan air di Titik Nol IKN Nusantara, untuk mengawali pembangunan ibu kota negara yang baru. Hal yang cukup menarik perhatian adalah momen di mana ke-34 kepala daerah yang hadir, membawa tanah dan air dari daerah masing-masing, kemudian diserahkan kepada Jokowi dan disatukan dalam kendi Nusantara. Dalam sambutannya, Presiden Jokowi mengatakan bahwa penyatatuan tanah dan air ini merupakan bentuk dari kebinekaan kita dan persatuan yang kuat di antara kita dalam rangka membangun ibu kota Nusantara ini.

Sebuah cita-cita besar dari Jokowi dan tentunya merupakan harapan besar dari kita semua yang mencintai NKRI. Kita menginginkan negara yang kita cintai ini tetap menjunjung tinggi persatuan di tengah aneka ragam suku, agama, ras, dan budaya. Namun pertanyaan reflektif bisa dilontarkan untuk menjadi permenungan kita bersama "Apakah dengan penyatuan tanah dan air tersebut sudah menjadi tanda atau identitas kolektif kita sebagai NKRI?" Dalam tulisan ini, saya mencoba mengangkat gagasan berpikir Charles Taylor dan K. Anthony Appiah untuk membantu kita dalam refleksi filosofis atas pertanyaan tersebut. 

Charles Taylor adalah seorang mantan Presiden Liberia ke-22. Sedangkan K. Anthony Appiah adalah seorang filsuf, ahli teori budaya dan novelis Ghana. Charles Taylor meyakini bahwa dalam masyarakat multikultural terdapat pelbagai macam persoalan. Persoalan yang dimaksudkan di sini ialah ras, etnis, gender, diskriminasi terhadap perempuan dan kaum minoritas. Persoalan pokok yang diangkat oleh Charles Taylor adalah pengakuan terhadap individu-individu dan identitasnya. Dalam tradisi liberalisme, pengakuan terhadap individu dan identitasnya sangat ditekankan. Namun penekanan lebih pada pengakuan terhadap individu dan identitasnya itu dikritisi dengan pertanyaan-pertanyaan bahwa; jika yang dipersoalkan adalah tentang aku atau individu, mengapa banyak penulis yang mengulas tentang gender, suku, kebangsaan, ras, seksualitas dan persamaan hak yang nampaknya jauh dari individualisme? Apa hubungan antara aspek-aspek tersebut dengan individu dalam masyarakat modern? Bagaimana kehidupan sosial muncul dan terikat dengan ide dari identitas yang berakar dalam romantisme?

Masalah tersebut di atas kemudian dibahas di bawah tema "Identitas Kolektif " oleh K. Anthony Appiah. Identitas kolektif berarti ciri khas bersama atau kelompok yang dibentuk berdasarkan ciri-ciri etnik karena masing-masing individu memahami perbedaan terhadap karakteristik yang dominan dari masing-masing mereka untuk mencapai suatu tujuan bersama. Dengan kata lain, identitas kolektif merupakan gabungan dari bagian-bagian identitas individu. Hal ini disebabkan karena identitas individu dapat terjadi akibat dorongan dari kesadaran kolektif yang mendorong para individu dalam masyarakat untuk hidup bersama.

Bagi Charles Taylor identitas kolektif hampir sama artinya dengan identitas individu. Identitas kolektif sebenarnya hanya merupakan gabungan beberapa bagian dari identitas individu. Setiap individu dalam masyarakat memiliki ciri-ciri, tanda-tanda khas dalam dirinya yang membentuk suatu identitas kolektif. Identitas kolektif merupakan sebuah proses dari sesuatu yang dibentuk. Dengan kata lain identitas kolektif tidaklah bersifat inheren tetapi muncul dalam suatu interaksi.

Gagasan Charles Taylor ini kemudian ditanggapi oleh K. Anthony Appiah. Pergumulan K. Anthoni Appiah terhadap ide yang dikemukakan Charles Taylor berangkat dari situasi yang dialami oleh sejumlah warga Amerika Serikat. Sikap atau perilaku kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas yang cenderung diskriminatif menghantar K. Anthony Appiah pada sebuah pertanyaan akan eksistensi manusia. Menurutnya, dalam pengalaman perjumpaan dengan pelbagai orang dari pelbagai negara seperti orang Prancis, Italia, Rusia dan sebagainya membuatnya berkesimpulan bahwa identitas manusia sejati tidak akan pernah kita temukan. Dia berusaha untuk memahami identitas manusia itu dalam diskusi-diskusi Charles Taylor. Identitas manusia itu disebutnya sebagai identitas kolektif itu yang memiliki beberapa unsur. Unsur-unsur identitas kolektif itu antara lain ras, etnis dan gender.

Diskriminasi rasial dan etnis merupakan sebuah realitas hidup yang dialami oleh banyak orang. Kelompok minoritas ini memiliki beberapa ciri. Ciri yang pertama adalah mereka yang mempunyai kesadaran bahwa mereka adalah suatu kelompok tersendiri dalam masyarakat multikultural. Mereka sering mengklaim diri sebagai "kami" dan menyebut kelompok lain sebagai mereka. Contoh yang dapat diambil adalah kelompok ras kulit hitam di benua Eropa. Kelompok minoritas yang kedua adalah kelompok minoritas yang bersifat subordinasi terhadap kelompok besar. Seringkali kelompok ini mempunyai tingkat kekuasaan yang rendah, berpengahasilan  kecil dan memiliki pendidikan yang lebih rendah dari kelompok mayoritas.

Diskriminasi rasial dan etnis terhadap kelompok minoritas pada hakikatnya memperkosa prinsip persamaan karena menurut Charles Taylor ada sesuatu yang paling pasti bagi manusia adalah ke-Aku-an. Aku telah dipanggil pada suatu kehidupan terutama hidupku seperti ini. Jika saya bukanlah kebenaran, saya tentu akan mempersalahakan aspek-aspek kehidupan. Di sini Charles Taylor mau menekankan bahwa diskriminasi terhadap kelompok minoritas adalah sebuah bentuk pelanggaran terhadap manusia sebagai manusia. Konsep-konsep Charles Taylor dalam politik pengakuan menekankan aspek-aspek penting dalam suatu ciri khas kebudayaan di mana ia memfokuskan pandangannya pada hak kelompok minoritas. Charles Taylor menyerukan agar semua kelompok minoritas harus berjuang melawan berbagai bentuk penyimpangan di mana mereka tidak mendapat perhatian di dalam masyarakat multikultural. Gerakan pembebasan dari kelompok minoritas di dalam masyarakat multikultural menurut Charles Taylor merupakan bentuk penghormatan terhadap identitas setiap pribadi yang unik. Di sini Charles Taylor membangun suatu kesadaran bahwa setiap orang harus dihargai sebagai pribadi yang unik. 

Sejalan dengan pandangan Charles Taylor di atas, K. Anthony Appiah menegaskan bahwa diskriminasi rasial dan etnis kelompok minoritas adalah suatu bentuk penipuan diri. Dia menyatakan bahwa seluruh bentuk rasisime secara moral adalah salah, karena rasisime melanggar desakan untuk memanfaatkan basis-basis yang hanya relevan secara moral untuk membuat perbedaan moral dan memperbolehkan orang untuk lari dari tuntutan-tuntutan moral universal. Prinsip persamaan dalam masyarakat pada dasarnya memperlakukan manusia secara sama dalam urusan kontrak, promosi dan upah. Prinsip persamaan ini membawa kebenaran moral, maka secara moral diwajibkan kepada setiap orang untuk tidak melanggar prinsip ini. Hukum Amerika Serikat mewajibkan setiap warganya untuk tidak mendiskriminasikan orang lain berdasarkan ciri-ciri yang tidak relevan seperti ras dan etnis.

Perjuangan gender merupakan sebuah perjuangan untuk melawan dominasi budaya yang menekankan norma-norma mengenai cara kelakuan, cara berpakaian dan karakter pribadi. Selain itu perjuangan gender juga menekankan persamaan hak antara wanita dan laki-laki di dalam kehidupan masyarakat multikultural. Dalam banyak ruang lingkup budaya, perempuan tidak mendapat pengakuan. Mereka digolongkan warga kelas dua, dengan demikian segala bentuk kehidupan baik itu cara kelakuan, cara berpakaian, dan karakter pribadi maupun  hak perempuan di dalam masyarakat sering mendapat sorotan dari warga kelas satu. Sebagai contoh sering kaum wanita dikritik jika tidak melakukan pekerjaan yang telah ditentukan dalam budaya. Di sini Charles Taylor menekankan penghormatan terhadap berbagai bentuk aktivitas, kebiasaan, dan cara pandang setiap wanita yang sering dipojokkan.

K. Anthony Appiah mengangkat suatu realitas lain yang menurutnya juga mesti menjadi perhatian bersama. Realitas itu adalah adanya kelompok yang berperan sebagai yang berkelainan seks seperti kelompok gay atau homoseksual. Kelompok ini sangat mudah dijumpai dan sering menjadi bahan olokan masyarakat. Berkaitan dengan kelompok gay ini Anthony Appiah tidak memberikan pandangannya secara luas ia hanya mempertanyakan apakah kelompok ini akan terus hidup dalam dunia tersembunyi dan terus menerima penghinaan masyarakat ataukah kepada mereka diberikan semacam otonomi khusus yang memampukan mereka secara wajar memengungkapkan harapan-harapan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun