Tanggal 5 November 2019, di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, berlangsung acara ziarah wisata pelajar Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama se Jakarta. Saat tabur bunga di makam Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat, saya dikirimi berita dari antaranews.com mengenai wawancara putra bungsu almarhum, yaitu Bambang Wasono Prapto.
Almarhum Jenderal TNI Basoeki Rachmat dikenal sebagai pelaku sejarah. Ketika terjadi peralihan dari pemerintahan Presiden Soekarno kepada Jenderal TNI Soeharto, sudah tentu bangsa Indonesia tidak bisa melupakan begitu saja sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966 yang lebih dikenal dengan istilah Supersemar.
Tetapi apa kaitanya dengan Hari Pahlawan ? Ketika Jenderal TNI Basoeki Rachmat diberitakan meninggal dunia pada hari Kamis, 9 Januari 1969 dalam usia 47 tahun , maka Departemen Penerangan RI waktu itu, pada hari Kamis itu juga telah menetapkan Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat sebagai Pahlawan Nasional.
Oleh karena itu, benar apa yang dikatakan Mayor Jenderal TNI Sukotjo Tjokroatmodjo, mantan pengawal Presiden Soekarno kepada saya pada tahun 2010 bahwa pahlawan itu ditentukan oleh waktu dan tempat.
Sukotjo Tjokroatmodjo adalah seorang sejarawan Indonesia, pegawai negeri sipil dan pensiunan Mayor Jenderal. Ketika saya bertemu beliau, ia waktu itu menjabat sebagai Wakil Ketua Umum III Dewan Pimpinan Pusat Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Saya waktu itu membantu Majalah LVRI "Veteran," sebagai Redaktur Pelaksana.
Mayor Jenderal (Purn) Sukotjo menyaksikan pertempuran dalam Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Dia kemudian menjadi asisten untuk kerja sama internasional dengan Menteri Pertahanan, antara 1978-1984. Lahir pada 18 Desember 1927 dan meninggal dunia pada 16 Maret 2017, di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Baru saja Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menetapkan para penerima gelar Pahlawan Nasional 2019. Memang tidak ada yang mengkritik, karena sejak awal, penganugerahan sebagai Pahlawan Nasional merupakan hak istimewa seorang Presiden Republik Indonesia.
Lihatlah dalam perjalanan Sejarah Indonesia. Kadang kala seorang presiden mengambil keputusan sendiri. Misalnya, di masa Presiden Pertama Soekarno. Ia pernah mengangkat dua orang Pahlawan Nasional dari unsur komunis, masing-masing Tan Malaka dan Alimin Prawiradirdjo. Unsur komunis tidak berarti 100 persen komunis.
Tan Malaka atau Ibrahim, gelar Datuk Tan Malaka, lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat pada 2 Juni 1897. Ia dapat disejajarkan dengan para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ia diakui sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 53 yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963.
Terlepas dari niat Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka dan Alimin Prawiradirdja untuk mendukung gagasannya Nasakom (Nasionalis, Agama, dan unsur Komunis), tetapi hubungan Tan Malaka dengan PKI tidak berjalan mulus. Ia menentang revolusi rakyat PKI pada 1926, dan memutuskan hubungan dengan PKI.
Apalagi gelar Pahlawan Nasional-nya tidak pernah dicabut. Di masa Pemerintahan Soeharto, Departemen Sosial, istilah sekarang kementerian, mengusulkan agar gelar kedua Pahlawan Nasional itu dicabut, tetapi ditolak presiden. Berarti hingga hari ini, Tan Malaka dan Alimin Prawiradirdjo tetap sebagai Pahlawan Nasional.
Memang banyak berbagai usulan agar figur yang disulkan ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional. Tetapi karena sudah masuk ke wilayah politik, maka Presiden memiliki hak istimewa dalam menentukannya.
Ketika berlangsung Diskusi Buku "Catatan B.M. Diah: Peran Pivotal Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-'45," pada hari Senin, 21 Mei 2018 di Pustaka Yayasan Obor Indonesia, salah seorang pembicara dalam diskusi, yaitu Sejarawan Asvi Warman Adam, mengusulkan agar B.M. Diah dan istrinya Herawati Diah pantas diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Memang itu baru sebatas usulan, karena belum ada diskusi tentang tokoh pers tersebut.
Usulan Sejarawan Indonesia Asvi Warman Adam tersebut perlu mendapatkan perhatian, karena B.M. Diah atau Burhanudin Mohamad Diah bersama istrinya Herawati Diah ikut berjuang mendirikan pers perjuangan, Harian Merdeka, pada 1 Oktober 1945.
Bahkan pada 17 Agustus 1945, B.M. Diah ikut menyebarkan hasil teks yang dibacakan Soekarno-Hatta, tanggal 17 Agustus 1945. Logo merah darah di huruf "Merdeka" surat kabarnya mampu menggelorakan semangat proklamasi 17 Agustus 1945.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI