Suriah sudah hancur. Sekarang, gerilyawan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) banyak yang menyeberang ke Irak. Hal ini sudah tentu mencemaskan masyarakat internasional, apalagi tujuan mereka kembali ke Irak setelah diserang pasukan Suriah yang didukung Rusia, juga diperbatasan Suriah-Turki yang digempur pasukan Turki, gerilyawan ISIS ini tidak lagi memiliki basis di Suriah.
ISIS kehilangan wilayah terakhir yang dikuasainya di Suriah dan beberapa hari setelah pemimpin mereka Abu Bakar al-Baghdadi tewas dalam penggrebekan pasukan Amerika Serikat, para militan kelompok itu kini menemukan tempat aman terpencil di Irak yang belum dikuasai siapa pun. Kabar itu disampaikan pejabat militer kepada "NBC News."
"Pertempuran melawan ISIS masih berlanjut," kata Brigadir Jenderal Marinir AS William Seely, komandan Satuan Tugas-Irak. "Kami melihat para militan ISIS bergerak dari Suriah melintasi ratusan kilometer gurun menuju Irak."
Awal lahirnya Negara Islam berawal di Irak. Apakah ISIS akan memulai perjuangannya lagi di Irak setelah mengalami kekalahan di Suriah ?
Fakta di lapangan, keinginan ISIS kembali ke Irak, hampir bersamaan waktunya dengan kembalinya penduduk Irak yang berada di luar negara "1001 Malam" itu ke negara kelahirannya.
Beberapa waktu yang lalu, terlihat di kendaraannya mereka membawa bendera putih dan berharap tidak diserang kelompok-kelompok yang bertikai, juga terhadap gerilyawan Negara Islam di Irak (ISI) yang masih tersisa. Apalagi sekarang ISIS yang di Suriah sudah mulai pulang ke Irak untuk menyusun kekuatan kembali. Buktinya Irak belum aman, baru saja terjadi ledakan bom mobil yang diklaim ISI.
Awal peristiwa, sebuah kendaraan sedang menuju Mosul, yang merupakan ibu kota pemerintah bagian Ninawa. Kota ini bermuara di Sungai Tigris. Terletak 396 km dari utara Baghdad. Pada tahun 2002, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.739.800 jiwa dan merupakan kota terbesar ketiga di Irak setelah Baghdad dan Basra.
Memang sulit jika membayangkan kehidupan semasa Presiden Irak Saddam Hussein berkuasa. Di masa itu, meski Saddam Hussein disebut dengan diktator dan berbagai istilah lainnya, ia mampu mensejahterakan rakyatnya melalui hasil bumi negaranya, minyak.
Tetapi setelah Perang Teluk II (antara Irak dengan Amerika Serikat/AS dan Sekutunya. Perang Teluk I antara Irak dengan Iran), ekonomi Irak semakin remuk karena embargo dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Setelah itu, pada 1994, Saddam terpilih sebagai Perdana Menteri sekaligus Presiden Irak untuk kesekian kalinya. Embargo PBB makin membuat ekonomi Irak cukup merana, inflasi Irak membengkak sampai angka 396,4 persen.