Hendro adalah pemegang Penghargaan Piagam Penegak Pers Pancasila dari Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, pemegang anugerah Tanda Kehormatan Satyalencana Seroja dan Satyalencana Bhakti dari Departeman Pertahanan Keamanan RI.
Dari sekian banyak pengalaman wartawan perang Indonesia, Hendro Subroto yang ditulis di bukunya, saya tertarik membaca pengalamannya dalam Perang Teluk di Irak, bahwa Presiden Irak waktu itu, Saddam Hussein memerintahkan menggunakan senjata kimia (halaman 363). Berarti tuduhan bahwa senjata pemusnah massal itu berdasarkan isi buku ini, ya, memang ada.
Awalnya Presiden Saddam Hussein didukung oleh Amerika Serikat (AS) untuk naik ke puncak kekuasaan di Irak. Sejarah telah mencatat hal itu. Itu tidak diragukan. Lama kelamaan sikap AS berubah setelah Irak menyerang Kuwait.
AS berubah sikap terhadap Irak. Bahkan di dua kepemimpinan Amerika Serikat, George Herbert Walker Bush (Ayah) dan George Walker Bush (anak), niat menghancur-leburkan Irak sudah terlihat. Tidak salah jika AS tahu betul kekuatan persenjataan Irak, bagaimana pun sewaktu masih didukung AS, persenjataan Irak banyak dibantu AS.
Anehnya ketika AS mengatakan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, karena dulu memang persenjataan dibantu AS, ternyata tidak terbukti sama sekali. Apakah ini skenario AS untuk mengalihkan isu, yang sebenarnya?
Inggris yang ikut bersama AS menyerang Irak, kemudian lebih mengaburkan informasi keberadaan senjata pemusnah massal Irak. Buktinya, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair meminta maaf atas invasi ke Irak yang menurutnya merupakan kesalahan besar intelijen. Hal ini disampaikan Blair dalam wawancara dengan pembawa acara GPS di CNN Fareed Zakaria, Minggu, 25 Oktober 2015.
Ujar Tony Blair: "Saya meminta maaf karena intelijen yang kami gunakan ternyata salah, walaupun dia (Saddam Hussein) sering menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri, tapi program (senjata pemusnah massal) itu tidak berada dalam bentuk yang kami kira," kata Blair.
Saya membenarkan, memang Tony Blair merujuk laporan intelijen yang muncul sebelum invasi pimpinan AS ke Irak tahun 2003. Dalam laporan itu disebutkan Saddam memiliki senjata pemusnah massal, yang menjadi dasar serangan AS dan Inggris ke negara itu.
Namun belakangan diketahui, laporan intelijen itu salah. Tapi invasi terlanjur dilakukan dan pemerintahan Saddam hancur serta pemimpin Irak itu digulingkan. Saddam dieksekusi mati dengan cara digantung pada hari Idul Adha tahun 2006.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H