Masyarakat Internasional baru-baru ini menyaksikan penarikan mundur pasukan Amerika Serikat (AS) dari Suriah, tetapi mereka diperintahkan langsung menuju Irak, perbatasan langsung dengan Suriah. Hanya sejumlah kecil saja pasukan AS yang disisakan di Suriah. Mereka terdiri dari pasukan elit penembak tepat sasaran.
Di pinggir jalan di Suriah, kita juga menyaksikan para penduduk Suriah melempari sebagian besar pasukan AS dengan tomat dan hasil pertanian lain. Mereka kesal dan kecewa ditinggalkan pasukan AS. Siapa nanti yang membela mereka jika terjadi pertempuran sengit di Suriah setelah sebagian besar pasukan AS ditarik dari wilayah sengketa itu ?
Awalnya AS hadir di Suriah setelah berhasil menggulingkan pemerintahan resmi Irak di bawah pimpinan Presiden Saddam Hussein. Tujuan awal AS di Suriah mirip sama, yaitu ingin menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad. Tetapi di Suriah, pasukan AS gagal.
Rusia yang sudah normal kembali kekuatan bersenjatanya membantu Suriah. Kali ini AS boleh dikatakan gagal menjalankan misinya di Suriah yaitu ingin menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad seperti berhasil menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein.
Sekarang perhatian AS tertuju ke Irak kembali setelah berlangsungnya aksi unjuk rasa baru-baru ini di negeri "1001 Malam," itu. Mereka yang berunjuk rasa menuntut agar para koruptor di Irak diadili, harga-harga yang tinggi diturunkan. Bahkan sudah mengarah kepada pejabat pemerintah yang tidak bisa memerintah segera mengundurkan diri.
Pertanyaan yang muncul ke permukaan, apakah ini skenario AS di Irak. Mengganti pemerintahan dan kembali menguasai Irak setelah mundur dari Irak semasa pemerintahan Presiden AS Barack Obama?
Tidak seluruh informasi intelijen diketahui para wartawan, khususnya wartawan perang. Apalagi oleh masyarakat umum. Jika memang benar informasi seperti itu, maka itu adalah hal mudah untuk para intelijen mengubah opini, agar informasi sebenarnya tidak perlu harus diketahui masyarakat internasional.
Itulah beberapa catatan untuk wartawan atau seorang wartawan perang. Hal itu pula yang melatarbelakangi kenapa Pemimpin Redaksi Harian " Merdeka," Burhanudin Mohamad Diah (B.M. Diah) mengutus saya ke Irak pada bulan Desember 1992, yaitu ingin mengetahui informasi akurat tentang perkembangan terakhir di "Negara 1001 Malam" itu.
Hal yang sama juga dilakukan wartawan perang Indonesia, Hendro Subroto. Ia menjadi wartawan perang untuk Televisi Republik Indonesia (TVRI). Ia pun sudah meninggal dunia pada 14 Oktober 2010. Semasa hidup, saya pernah berkunjung ke rumahnya, dan diberi sebuah buku tulisannya :" Perjalanan Seorang Wartawan Perang," diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Jakarta tahun 1998."
Membaca buku setebal 430 halaman ini, kita diajak untuk menyaksikan liku- liku perjalanan seorang wartawan perang Indonesia di Kamboja, Vietnam dan Perang Teluk. Juga di Indonesia yaitu di Timor Timur, penumpasan Kahar Muzakkar, G.30 S/PKI dan penumpasan gerombolan PGRS.