Pada 29 September 1945 pagi-pagi sekitar pukul sembilan, Burhanudin Mohamad (BM) Diah mengajak Frans Soemarto Mendur dan Yep Kamsar, dua temannya yang pernah menjadi tukang setting dan korektor koran "Asia Raya." Namun Diah tutup mulut ketika ditanya ke mana tujuan mereka.
Tapi di tempat lain Rosihan Anwar serta Dal Bassa Pulungan sudah diberi isyarat dan berjanji akan membantu. Aksi tutup mulut atas rencana ini ia lakukan mengingat ia sendiri tahu betapa nekat apa yang akan ia lakukan. Bahkan untuk berjaga-jaga, BM Diah menyelipkan sepucuk revolver di saku celananya.
Mereka pergi ke Molenvliet, beberapa waktu kemudian bernama Jalan Hayam Wuruk, di mana terdapat gedung percetakan De Unie. Diiringi teman-temannya, BM Diah memimpin masuk ke ruang direksi Djawa Shimbun
BM Diah berpikir, bangsa yang sudah kalah perang seperti Jepang, pasti tak punya semangat lagi untuk meneruskan perang, maka ia berani saja melakukan tindakan nekatnya. Tapi ternyata apa yang ia hadapi tak semengerikan bayangannya. Revolver di kantongnya, jangankan dipakai, bahkan tak pernah dikeluarkan.
Orang-orang Jepang itu, seolah tak peduli, menyerahkan percetakan kepada mereka tanpa perlawanan sedikit pun. Pada hari itulah mereka menjadi pemilik percetakan, "Atas Nama Republik Indonesia".
Keesokan harinya mereka mulai bekerja, mempersiapkan beberapa tulisan. Nama "Merdeka" dipilih, mengingat salam nasional yang telah diresmikan itu. Bentuk huruf dirancang, dan mereka kemudian mempergunakan jenis huruf Wiwosch yang dicetak dengan tinta merah. Sepanjang umur "Merdeka," jenis huruf itu tetap dipertahankan. Kebetulan waktu itu di gedung De Unie masih ada persediaan kertas yang banyak, cukup untuk enam bulan.
Beberapa tulisan yang sudah di-setting dicetak pada hari itu, siang-siang. Lembar pertama dibaca beramai-ramai, dan korektor mulai membaca proefdruk untuk mengoreksi berita yang salah ketik. Mesin berputar lagi, dan suara sorak-sorai orang-orang nekat itu menggema penuh kegembiraan. Sore 1 Oktober 1945 akhirnya koran itu beredar, meski cuma empat halaman.
Namun cerita riang itu tak berumur panjang. Jepang pergi tapi Sekutu datang. Tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger, Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda) dengan seragam NICA (Nederlands Indies Civil Administration -- Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) datang bersama tentara Inggris, memenuhi kota dan mempersempit ruang gerak, termasuk para wartawan di koran "Merdeka."
Di sana-sini, di pelosok-pelosok jalan, tampak tentara-tentara NICA siap menahaan atau menginterograsi orang-orang yang dicurigai. Yang paling mengerikan adalah ketika suatu hari kantor "Merdeka" diserbu segerombolan anak-anak muda NICA. Mereka berlarian di kantor yang luas tersebut sambil menembak ke sana-ke mari. Memang tak ada yang tertembak, tapi sudah cukup membuat orang nyaris semaput.
Namun dengan berjalannya waktu, terutama setelah kedatangan wartawan-wartawan asing serta perkenalan dengan seorang kapten asal Gurkha yang senang nongkrong di "Merdeka" bernama Sen Grupta, kantor "Merdeka" tak pernah diganggu lagi.
Itulah sebagian pembicaraan saya dengan Joesoef Isak di rumahnya di bulan Juli 2009, saya waktu itu sebagai Redaktur Senior Majalah "Biografi Politik," berkunjung ke rumah Joesoef Isak, yang pernah diangkat BM Diah sebagai Pemimpin Redaksi harian "Merdeka." Ia bercerita panjang lebar tentang perkenalannya dengan BM Diah hingga ia dipecat.
Isak adalah perokok berat. Ketika berbicara dengan saya, tangannya tidak lepas memegang sebatang rokok. Saya bertemu pada bulan Juli 2009 itu merupakan pertemuan pertama dan terakhir saya, karena sebulan setelah saya bertemu, tepatnya 15 Agustus 2009, ia meninggal dunia di usia 81 tahun.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/09/23/img-20190920-153126-945-5d88acb6097f3640e76123c2.jpg?t=o&v=770)
Joesoef Isak lahir dari seorang ayah yang bekerja sebagai pegawai kantor pos, Keluarganya berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Terdidik dalam sistem kolonial Belanda, Isak tidak berbicara bahasa Indonesia sebagai seorang pemuda, tetapi kemudian menjadi pendukung bahasa tersebut. Pada tahun 2005, Isak menerima Keneally Award dari masyarakat Australia untuk karyanya.
Joesoef Isak selain wartawan, adalah seorang penerbit Indonesia, penerjemah, dan intelektual sayap kiri. Dia adalah seorang penganjur kebebasan berbicara selama pemerintahan Presiden Soeharto, dan dipenjarakan selama 1967-1977 tanpa pengadilan.
Bahkan kalau kita baca harian "Merdeka" edisi khusus Pameran Pers Indonesia 1985, di terbitan itu terdapat tulisan bahwa harian "Merdeka" identik dengan "Kerajaannya BM Diah." Hal itu juga dialami Joesoef Isak. Kepercayaan yang dipercayakan kepadanya sebagai Pemimpin Redaksi hanya merupakan simbol. Pemimpin Redaksi sebenarnya adalah BM Diah.
Ketika Joesoef Isak menjadi Pemimpin Redaksi harian "Merdeka," ia bukan saja memimpin suratkabar harian tetapi juga percetakan dan semua bidang bisnis lain dari grup Merdeka. Ia pun tetap berada di Jakarta.
Presiden Soekarno mengangkat BM Diah menjadi duta besar untuk Cekoslowakia merangkap Hongaria, maka secara formal, tidak mungkin jabatan resmi pemerintahan dirangkap dengan suatu jabatan swasta, apalagi pimpinan sebuah surat kabar yang bisa saja punya garis politik berbeda dengan pemerintah. Lagi pula secara fisik ia berada di luar Indonesia, ia berada jauh di Eropa Timur.
BM Diah sendiri sebenarnya tak ingin meninggalkan "Merdeka." Apalagi isterinya sendiri sudah menerbitkan majalah "Keluarga" di samping mingguan "Majalah Merdeka" dan harian berbahasa Inggris "Indonesian Observer."
Berarti yang dimaksud "Kerajaan BM Diah" tahun 1985 itu adalah harian pagi "Merdeka" yang diterbitkan pada 1 Oktober 1945, Koran Mingguan "Minggu Merdeka," surat kabar berbahasa Inggris "Indonesian Observer," majalah berita bergambar "Topik," dan majalah untuk ibu, ayah dan anak "Keluarga".
Ketika BM Diah pada tahun 1959 harus mengangkat pemimpin redaksi baru bagi Merdeka, pilihan tertuju kepada Joesoef Isak, meski masih cukup banyak tenaga senior lain di atasnya. Ketika itu ia berumur 31 tahun. Sebelumnya Joesoef Isak menjabat sebagai redaksi pertama.
Ketika BM Diah dan Herawati Diah berdiri untuk dipotret di pelaminan semasa resepsi pernikahan Joesoef tahun 1956, Diah berbisik: "Ik heb een cadeau voor jou -- aku punya kado untukmu. Mulai hari ini aku angkat kau menjadi redaktur pertama." Dulu disebut managing editor. Cerita ini pun diceritakan kepada saya ketika bertemu Joesoef Isak.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/09/23/buku-b-m-diah-5d88eacc0d82304df27b3094.jpg?t=o&v=770)
Menurut pengakuan Joesoef Isak kepada saya, ia pergi ke sana untuk menengok. Ia datang, tetapi BM Diah sama sekali tak bisa mengenali siapa pun, karena dalam keadaan comma.
Tak lama setelah kunjungannya, BM Diah yang masih dalam keadaan tak sadarkan diri diterbangkan dengan ambulans helikopter dari rumah sakit Gleneagles ke rumah sakit Jakarta di pusat kota, menempuh jarak sekitar setengah jam perjalanan. Ia berbaring di sana selama sepuluh hari, hingga pada hari Senin 10 Juni 1996, ia mengembuskan nafasnya yang terakhir pada jam tiga dini hari.
Jauh sebelum BM Diah pergi untuk selama-lamanya, mereka beberapa kali masih saling jumpa. Pada suatu waktu Joesoef secara langsung dan terbuka melakukan klarifikasi atas segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Sekarang semuanya sudah selesai, katanya dengan senang dan hati lega, tak ada lagi masalah antara aku dan BM Diah. Dia ulangi ucapan BM Diah yang diseling-seling bahasa Belanda:
" Suf, kau kenal Hera, kau kenal aku, tak mungkin Hera atau aku menuduh kau macam-macam. Apa yang terjadi adalah suatu konflik politik. Kita berbeda pendapat ketika itu. Itu wajar saja. Sekarang semua itu sudah lewat!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI