Hari ini, 21 September 2019, lima tahun yang lalu, tepatnya hari Minggu, 21 September 2014, merupakan sebuah kenangan tak terlupakan.
Pada waktu itu, saya mampir bersama staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Baghdad, Irak, ke Karbala. Tempat cucu Nabi Muhammad SAW yang wajahnya paling mirip dengan Rasulullah, Hussein menutup mata untuk selama-lamanya.
Inilah kesempatan kedua saya ke Irak, setelah pertama kali akhir Desember 1992 melakukan kunjungan ke Irak. Pada 1992 ini, saya tidak menyempatkan waktu ke Karbala. Hal ini dikarenakan pemberlakuan Zona Larangan Terbang sepanjang garis paralel 36 di Utara dan 32 Selatan udara Irak yang diterapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Larangan terbang PBB ini membuat saya tidak bisa langsung menuju Baghdad, tetapi berhenti di Jordania. Lalu pakai apa saya ke Irak? Ya, terpaksa melalui jalan darat dari Amman, ibukota Jordanian ke Baghdad, ibukota Irak. Bukan hanya berlaku buat saya saja, tetapi siapa pun yang akan ke Irak, baik pejabat tinggi atau seorang jurnalis seperti saya, tidak kecuali, melalui jalan darat.
Waktu itu jalan yang ditempuh dari Jordania ke Irak, secara keseluruhan berjarak 885 kilometer yang ditempuh lebih kurang 13 jam. Pada tahun 2014 itu, sudah tentu berbeda jauh dengan dulu.
Sekarang, saya langsung mendarat di Bandara Baghdad. Tetapi suasananya masih tidak nyaman. Pos pos penjagaan berdiri di setiap berapa kilometer perjalanan. Perjalanan menuju Padang Karbala, meski saya memakai mobil kedutaan, tetap saja pemeriksaan diberlakukan, walaupun sesaat.
Sebelumnya memang pada hari Sabtu, 20 September 2014, pihak Kedutaan Besar Indonesia di Baghdad mengajak saya berziarah ke makam sahabat Nabi Muhammad SAW, Ali r.a. Kami menginap semalam di Kufah atau disebut juga Kufa.
Kufah merupakan sebuah kota di Irak. Ia terletak 10 km di timur laut Najaf dan 170 km di selatan Baghdad. Diperkirakan kota ini mempunyai 110.000 penduduk pada tahun 2003.
Bersama-sama dengan Karbala dan Najaf, Kufah merupakan salah satu dari tiga kota terpenting di Irak untuk golongan Syiah. Di era Khalifah Saidina Ali, pusat administrasi dipindahkan dari Madinah Al-Munawarah ke Kufah. Di sinilah Saidina Ali meninggal akibat tikaman pedang Ibnu Muljam.
Makam Saidina Ali bin Abi Talib pula berada di Najaf. Menurut keterangan warga Irak, seorang pilot, makam tersebut amat diyakini oleh penduduk Syiah. Kawasan pekuburan amat luas dan diyakini merupakan perkuburan yang terluas di dunia.