Inilah buku yang saya tulis pada tahun 1998 dan diterbitkan PT. Grasindo (Gramedia Widia Sarana). Buku ini kemudian diterbitkan lagi pada tahun 2008, juga oleh penerbit yang sama.
Mengapa saya harus mengungkapnya kembali? Hal itu karena ada sesuatu hal mengganjal, yaitu sebelumnyab tertundanya buku ini terbit, yaitu menunggu Kata Pengantar dari Presiden Soeharto.
Kata Pengantar dari Presiden Soeharto itu tidak muncul juga. Sebenarnya Presiden Soeharto berkenan menulis Kata Pengantar buku setebal 184 halaman itu. Kenapa begitu ? Pertama yang mengajukan dan meminta Kata Pengantar tersebut adalah istri Jenderal TNI (Anumerta) Basoeki Rachmat yaitu Nyonya Sriwoelan yang sekarang juga sudah almarhum.
Kedua, persahabatan kedua tokoh tersebut, masing-masing Jenderal TNI Soeharto dan Basoeki Rachmat sangat akrab. Di dalam pikiran saya atau keluarga Jenderal TNI (Anumerta) Basoeki Rachmat, tidak mungkin Presiden Soeharto menolak menulis Kata Pengantar di dalam buku tersebut. Tetapi memang itulah yang terjadi, "tidak ada jawaban dari Presiden Soeharto.
Buku itu terbit juga pada tahun 1998 dan sudah tentu tanpa Kata Pengantar dari Presiden Soeharto. Bagaimana pun pertanyaan tersebut muncul kembali, apa sebabnya ya? Kalau dikatakan sebuah keakraban, Presiden Soeharto sangat mengagumi Jenderal Basoeki Rachmat. Bahkan pada waktu Jenderal Basoeki Rachmat meninggal dunia hari Jumat, 10 Januari 1969, Presiden Soeharto terkejut dan langsung ke rumah Jenderal Basoeki Rachmat di Jalan Besuki No. 11.
Suatu kehormatan untuk almarhum Jenderal TNI Basoeki Rachmat adalah kenaikan pangkat almarhum dari Letnan Jenderal menjadi Jenderal. Juga pada hari itu selain dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, maka pada tanggal beliau mangkat langsung diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Jarang hal tersebut terjadi.
Menurut perkiraan saya, yang menjadi masalah adalah di judul buku yaitu kata Supersemarnya (Surat Perintah 11 Maret), meski Supersemar yang dipaparkan dalam buku sesuai dengan alur sejarah. Selanjutnya pernyataan dari ajudan Jenderal Basoeki Rachmat, Stany Soebakir di dalam buku itu bahwa ketika hari sudah larut malam dan di dalam mobil jenis Toyota "Kanvas" bernomor polisi B 1968 S menuju Jakarta melalui Cibinong, "Saya masih ingat, tempat ditandtanganinya naskah itu di Bogor, bukan Jakarta. Karena Bung Karno sudah menganggap, Bogor sebagai pusat pemerintahan," ujar Stany Subakir.
Perkiraan saya kalimat ini. Jika Presiden Soeharto membuat Kata Pengantar, maka ia harus memaparkan Supersemar itu ditandatangani di Bogor sesuai pernyataan ajudan Jenderal TNI Basoeki Rachmat.
Memang benar setelah Presiden Soeharto meninggal dunia, masalah Supersemar asli selalu dipertanyakan. Megawati, Jusuf Kalla dan Kepala Arsip Nasional pernah mengucapkan kalimat akan berusaha mencari Supersemar asli, tetapi tidak terwujud hingga hari ini. Jika kita ke Arsip Nasional, yang kita temui bukan Supersemar asli sebagaimana kata ajudan Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat, yaitu Stany Soebakir bahwa Supersemar itu ditandatangani Presiden Soekarno beralamat di Bogor, bukan Jakarta.