Satu setengah jam pembicaraan tersebut. Benny Moerdani mengatakan sebagaimana ditulis Jusuf Wanandi: "Kami adalah dasar dari kekuasaan Bapak, tetapi Bapak tidak lagi percaya kepada kami dan malah lebih percaya Habibie dan ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) dan semua pembantu Bapak, Harmoko, Ginanjar Kartasasmita, Akbar Tandjung ternyata penghianat."
"Ini salah besar. Lihat apa yang terjadi, militer pun sekarang sudah semakin hijau di bawah Faisal Tandjung karena Bapak tidak percaya kepada saya. Bapak tidak percaya kepada ABRI, walaupun kami selalu mendukung Bapak dan setia," lanjut Moerdani.
Untuk mengingat mengapa keluarga Cendana tidak mau menerima BJ Habibie, hal ini sama dengan pernyataan Laksamana (Purnawirawan) Soedomo yang meninggal pada Rabu, 18 April 2012.
Saya teringat kembali kenangan ketika bertemu Soedomo pertama dan sekaligus terakhir, di rumahnya Pondok Indah, Senin 8 Februari 2010. Pak Domo, panggilan akrabnya, tiba-tiba bicara tentang peta perpolitikan menjelang Soeharto lengser dari jabatan Presiden RI. Pertemuan pertama, karena memang pertamakali saya berbicara empat mata atau secara khusus. Kedua, setelah itu tidak lagi bertemu hingga beliau meninggal dunia.
Diselingi humur-humor kecil, Pak Domo bercerita mengenai tiga orang yang sangat tidak disukai Pak Harto. Di samping Harmoko, Ginanjar Kartasasmita dan juga BJ Habibie. Tidak dijelaskan alasannya dan saya juga tidak ingin mengetahui dan bertanya.
Pak Domo kemudian berujar agar dalam hidup ini kesetiaan dan pengabdian sangat dibutuhkan. "Anda termasuk generasi pelanjut," ujar Pak Domo dan perlu mengetahuinya. Jika kesetiaan sudah tidak ada di naluri seorang pengabdi, jelas Pak Domo, inilah yang dinamakan penghianatan.
Oleh karena itu, ujar Pak Domo, jika Pak Harto diundang ke sebuah pertemuan maka ia akan selalu bertanya, apakah ketiga orang itu hadir juga di pertemuan itu? Jika masih ada salah seorang dalam pertemuan itu, Pak Harto menunda kehadirannya. Barulah setelah ketiga atau salah seorang dari ketiganya pulang, Pak Harto hadir.
Menurut saya, mengapa Pak Harto merasa tidak ingin menemui ketiga orang itu, sudah tentu berlatar belakang yang berbeda satu dengan yang lain. Pak Domo mengaku ikut menyetujui bahwa Pak Harto meletakkan jabatan secara tragis, bukan semata-mata karena desakan demonstrasi mahasiswa (1998), melainkan lebih akibat pengkhianatan para pembantu dekatnya.
Ceritanya bermula setelah Pemilu 1997 dan sebelum Sidang Umum MPR, Maret 1998, para pembantu Presiden Soeharto, di antaranya Harmoko, selaku Ketua Umum DPP Golkar, menyatakan akan tetap mencalonkan HM Soeharto sebagai presiden 1998-2003. Tapi, justeru pada HUT Golkar ke-33, Oktober 1997 itu, HM Soeharto mengembalikan pernyataan itu untuk dicek ulang: Apakah rakyat sungguh-sungguh masih menginginkannya menjadi presiden?
Setelah berselang beberapa bulan, tepatnya tanggal 20 Januari 1998, tiga pimpinan Keluarga Besar Golkar atau yang lazim disebut Tiga Jalur Golkar, yakni jalur Golkar/Beringin (Harmoko), jalur ABRI (Feisal Tanjung) dan jalur birokrasi (Yogie SM), datang ke Bina Graha menyampaikan hasil pengecekan ulang keinginan rakyat dalam pencalonan HM Soeharto sebagai Presiden RI. Saat itu mereka melaporkan kepada Pak Harto. "Bahwa ternyata rakyat memang hanya mempunyai satu calon Presiden RI untuk periode 1998-2003 yaitu HM Soeharto," kata Harmoko mengumumkan kepada pers usai melapor kepada Pak Harto.
"Mayoritas rakyat Indonesia memang tetap menghendaki Bapak Haji Muhammad Soeharto untuk dicalonkan sebagai Presiden RI masa bakti 1998-2003," tutur Harmoko yang didampingi M Yogie SM dan Jenderal TNI Feisal Tanjung ketika itu.