Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X baru saja menerima Doktor Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), pada hari Kamis, 5 September 2019.
Sultan meraih gelar honoris causa atas kontribusinya di bidang pendidikan karakter berbasis budaya. Rapat Senat Terbuka penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa bertempat di Auditorium UNY.
Saat acara penganugerahan, Sultan didampingi GKR Hemas beserta empat putrinya, GKR Mangkubumi, GKR Condrokirono, GKR Maduretno, GKR Hayu, serta GKR Bendoro.
Menarik untuk diamati adalah bahwa keluarga Sultan HB X tidak memiliki keturunan putra yang akan menggantikannya nanti. Hal itu memang sudah ditanggapi Sultan.
Melalui Sabda Raja, Sultan HB X telah menetapkan siapa calon yang akan menggantikan dirinya. Ia tidak lain puteri tertuanya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun.
Sabda Raja telah diucapkan, nama GKR Pembayun resmi berganti menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Buwono Langgeng ing Mataram.
Sabda Raja tak bisa ditarik kembali. Semua telah melalui prosedur sebagaimana tata cara kerajaan turun temurun sejak Sri Sultan HB I. Memang sedikit agak mengagetkan, bahwa yang menjadi raja nanti adalah ratu.
Oleh karena itu, Sangat wajar bila ada pertentangan, terutama dari saudara-saudara Sultan keturunan Sultan HB IX yang laki-laki. Saya juga melihat pergantian ini biasa saja, karena Sultan HB X telah menyatakan niatnya ini sejak lama.
Ketika kami bertiga, saya, Freddy Ndolu, dan Agustinus James mengunjungi Kraton Yogyakarta, melakukan wawancara di Kraton, hal-hal ini sudah dibicarakan.
Itu terjadi pada awal mendekati medio 2012. Anak pasangan Sri Sultan HB X dengan Kanjeng Ratu Hemas ditakdirkan perempuan semua. Tidak ada yang laki-laki.
Pembayun adalah anak sulung dari lima bersaudara yang semuanya perempuan. Tetapi kelangsungan kerajaan harus diteruskan. Tata cara dan adat yang berlaku di dalam Kraton harus dilanggengkan dan dilestarikan.
Sumbangsih Kraton Yogyakarta bagi kemerdekaan sangat besar. Sehari setelah Soekarno-Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus 1945, Sultan HB IX (ayahnya Sultan HB X) langsung memberikan selamat kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta.
Begitu pula dengan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sebagaimana pasangan Soekarno-Hatta, maka Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII, juga merupakan pasangan serasi.
Kesultanan merupakan salah satu bentuk pemerintahan bercorak Islam. Bentuk-bentuk pemerintahan seperti ini hampir sama dengan sebuah kerajaan dan banyak dijumpai di negara-negara Timur Tengah. Setelah Islam masuk ke Indonesia, kerajaan-kerajaan di Indonesia pun banyak mengambil alih corak seperti ini.
Di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah, agama Islam telah tersebar luas sejak Abad XV dan XVI dengan berdirinya Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah dan sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam.
Ketika kami memasuki Kraton Yogyakarta, nuansa Islam itu terasa. Kami memasuki Kraton yang sederhana. Berjalan dari ujung ke ujung, kita banyak merenung, mencoba memahami hal-hal yang tidak pernah ditulis.
Memang Kraton, Kerajaan dalam pemahaman orang kebanyakan adalah representasi dari sistem feodalistik peninggalan masa penjajahan.Tetapi sesungguhnya tata nilai yang dikembangkan, setidaknya mulai dari era Sri Sultan HB IX.
O. G. Roeder dalam buku "Soeharto dari Prajurit sampai Presiden" menulis:
"Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogya telah memberikan bantuan moril paling besar terhadap pejuang-pejuang kemerdekaan. Tanpa pikir panjang lagi Sri Sultan mengirim kawat ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta, Presiden dan Wakil Presiden RI yang baru lahir."
Memang benar apa yang dikatakan Sultan HB X ketika diwawancarai televisi, ia mengatakan banyak kata "tidak tahu." Ini memang benar. Usaha telah dilakukan Sultan. Semua kembali kepada Allah SWT.
Sultan HB X sekarang lebih banyak memberi contoh kepada masyarakat, baik sebagai seorang kepala keluarga, Sultan serta Gubernur DI Yogyakarta.
Selain menemui Sultan, kami juga bertemu dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun, putri sulung Sultan HB X yang sering disapa Mbak Sari ini pada hari Selasa, 8 Mei 2012 di perumahannya yang masih di sekitar kerabat Kraton Yogyakarta.
Ia terlihat santai, familiar dan tegas, itulah kesan pertama kita jika bertemu dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun.
Mbak Sari belum terpikirkan terjun ke dunia politik dan merasa lebih senang bergelut di beberapa organisasi sosial pada waktu itu, antara lain sebagai Ketua Umum Karang Taruna DIY, Ketua KNPI, Ketua Asosiasi Kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera DIY serta beberapa organisasi sosial lainnya.
"Semua urusan bisnis saya serahkan adik-adik. Saya lebih enak kerja sosial. Sembilan puluh persen hidup saya untuk kerja sosial," akunya.
Mbak Sari mengaku sejak kecil diajar hidup jujur dan mandiri. Apakah dia pewaris takhta ayahnya kelak?
Inilah yang penting buat suatu daerah, di mana didukung rakyatnya. Bukankah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, didukung penuh oleh rakyat?
Ketika di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang terjadi sedikit masalah mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta yang Menteri Dalam Negeri-nya Gamawan Fauzi (asal Minangkabau).
Tetapi karena dukungan rakyat, pemerintah kembali mempertegas Daerah Istimewa Yogyakarta. Bukan tidak penting dukungan unsur-unsur dari atas, tetapi yang lebih penting adalah dukungan dari rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H