Presiden Joko Widodo memang patut mengomentari perkembangan terakhir di Papua. Ia meminta seluruh warga Papua dan Papua Barat untuk tenang dan tidak meluapkan emosi secara berlebihan.
Menurut Kepala Negara, alangkah lebih baiknya apabila masyarakat Papua dan Papua Barat memaafkan jika merasa tersinggung.
"Saya tahu ada ketersinggungan, oleh sebab itu, sebagai saudara sebangsa dan setanah air, yang paling baik adalah saling memaafkan," kata Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 19 Agustus 2019.
"Emosi itu boleh, memaafkan lebih baik. Sabar itu juga lebih baik," kata Jokowi..
Sebelumnya Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa telah meminta maaf pada masyarakat Papua, bahwa kata-kata yang tidak pantas (rasisme) sama sekali tidak mewakili masyarakat Jatim dan menegaskan jaminan atas keselamatan mahasiswa Papua yang studi di Jatim.
Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa, M.Si. adalah Gubernur Jawa Timur yang menjabat sejak 13 Februari 2019. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Sosial Indonesia ke-27 yang menjabat sejak tanggal 27 Oktober 2014 hingga 17 Januari 2018.
Seperti diketahui, kericuhan pecah di Manokwari, Papua Barat, sebagai ujung dari unjuk rasa massa.
Kerusuhan bermula dari aksi protes warga terhadap aksi persekusi dan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur.
Pengunjuk rasa bahkan membakar kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua Barat di Jalan Siliwangi, Manokwari.
Selain Gedung DPRD Papua Barat, massa juga membakar sejumlah kendaraan roda dua dan roda empat.
Tidak hanya itu, massa juga melakukan pelemparan terhadap Kapolda Papua Barat dan Pangdam XVIII/Kasuari, yang datang untuk menenangkan massa.
Untuk menghentikan aksi anarkistis tersebut, polisi terpaksa menembakan gas air mata. Akhirnya situasi dapat dikendalikan.
Bagaimana pun Papua harus tetap dibangun. Kita ingat kata-kata Presiden Jokowi, Papua tetap terus dibangun. Pemerintah, ujar Jokowi, akan terus menjaga kehormatan dan kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat.
"Pemerintah akan terus menjaga kehormatan dan kesejahteraan Pace, Mace, Mama-mama, yang ada di Papua dan Papua Barat," ujar Jokowi.
Berkaitan dengan pernyataan Presiden Jokowi itu, saya ingat tahun lalu, ketika "Kompas.TV,"Senin, 10 Desember 2018, sekitar pukul 08.30 pagi WIB menyiarkan perjalanan seorang pengusaha Indonesia, Youk Tanzil dari Wamena ke Jayapura. Perjalanan itu dilakukannya dengan menakai sepeda motor (trail) dengan jarak 3.360 kilometer.
Saya menyaksikan perjalanan itu melalui "Kompas.TV" yang memperlihatkan ruas-ruas jalan sedang dibangun. Tanah-tanah yang licin dan keramahan penduduk Papua, juga diceritakan oleh Youk Tanzil. Tidak ada sponsor, ujarnya. Perjalanannya dibiayai sendiri karena ia seorang pengusaha. Lebih jauh dari itu, memang ia gemar melakukan perjalanan.
Dari penuturan Youk Tanzil, memang diakuinya penyelesaian bangun jembatan dan jalan itu begitu cepat selesai, sehingga sudah dapat segera dimanfaatkan penduduk. Mereka membutuhkan sekali sarana dan prasarana seperti ini, karena sebelum dibangun, jarak yang begitu jauh, bisa memakan waktu berhari-hari.
Apalagi sebelumnya mereka melalui hutan yang lebat. Dengan adanya pembangunan, semakin luas pula area daratan yang berpenghuni dan tidak berhutan lagi.
Membangun Papua, membagun sesuatu di wilayah berbukit-bukit. Juga berhutan lebat. Wilayah Papua tidak sama dengan di Pulau Jawa.
Jika di Pulau Jawa wilayahnya banyak dataran, tetapi di Papua, wilayahnya memang diciptakan oleh Tuhan berbukit-bukit. Lihatlah foto kota Jayapura yang sudah tersebar di mana-mana di seluruh Indonesia. Indah dan berbukit-bukit.
Sejarah Papua memang perlu dibaca. Jika kita membaca sejarah Papua di waktu Perang Dunia II, di mana-mana banyak kita temui jejak sejarah peninggalan perang dunia itu, khususnya ketika Amerika Serikat (AS) memanfaatkan bukit-bukit sebagai pusat pertahanannya melawan Jepang. Lihat misalnya Tugu MacArthur di Ifar Gunung, Jayapura. Juga ada tugu pendaratan Sekutu di Jayapura.
MacArthur, lengkapnya Jenderal Besar (bintang lima) Douglas MacArthur adalah pimpinan pasukan Sekutu Amerika Serikat saat Perang Dunia II di Kawasan Asia Pasifik di tanah Papua. Pendaratan pasukan AS di pantai Hamadi, Jayapura, pun ada tugunya.
Di bawah tugu itu bisa dibaca bahwa pendaratan tentara Sekutu di Pantai Hamadi, Jayapura terjadi pada 22 April 1944. Juga di Biak, terdapat tugu Monumen Perang Dunia II. Di Fak-Fak, juga terdapat meriam peninggalan sejarah Perang Dunia II. Di Biak terdapat goa pertahanan militer Jepang.
Semua yang telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa selain Papua memiliki keindahan alamnya, juga menjadi wisata sejarah. Jika berbicara mengenai gangguan separatis, memang sudah terjadi sejak saya di Jayapura tahun 1975.
Saya lama mendalami kebudayaan berbagai suku-suku ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih dari tahun 1975-1980 di Abepura. Ketua suku sangat dihormati dan perintahnya selalu diikuti. Itu sebabnya Kementerian Dalam Negeri berusaha bertemu para kepala suku untuk mengatasi masalah Papua baru-baru ini.
Waktu saya kuliah di Papua, nama Fakultas Hukum waktu itu FIHES, gabungan Fakultas Ilmu Hukum, Ekonomo dan Sosial. Saya di bagian Hukum.Waktu itu bukan satu dua kali saya menyaksikan bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM) berkibar di kampus, tetapi segera dapat diatasi.
Peta ini diperoleh dari "Radar Cirebon.com," 20 Agustus 2019 yang mengambil dari "ABC News," Senin, 24 Juni 2019. Diperlihatkan kerja sama militer yang erat antara AS dan Australia. Kedua negara akan membangun pelabuhan khusus marinir AS di Darwin. Tujuannya membendung pengaruh militer Republik Rakyat China (RRC) yang telah menguasai Kepulauan Spratly. Diberitakan, RRC membangun pangkalan militernya di kepulauan tersebut.
Mereka memiliki Pakta Keamanan Bersama yang dinamakan ANZUS. Pakta Keamanan Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat (Australia, New Zealand, United States Security Treaty /ANZUS) atau Pakta ANZUS adalah aliansi militer yang mengikat antara Australia dan Selandia Baru dan, secara terpisah, Australia dan Amerika Serikat bekerjasama dalam hal pertahanan di daerah. Di awal pembentukannya, Indonesia pernah diajak bekerjasama, tetapi Presiden Soekarno menolak.
Oleh karena itu jika terjadi ketegangan antara AS dan RRC itulah yang Indonesia harus hati-hati melihat Papua, karena Papua akan terseret ke dalamnya. Apalagi informasi yang harus diuji kebenarannya, mantan gerilyawan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) yang terusir dari dua negara itu, sedang menuju Papua.