Almamater adalah istilah dalam bahasa Latin yang secara arti harfiah bermakna "ibu susuan". Penggunaan istilah ini populer di kalangan akademik/pendidikan untuk menyebut perguruan tempat seseorang menyelesaikan suatu jenjang pendidikan.
Baru-baru ini pernyataan seorang alumnus Universitas Indonesia (UI) menjadi bahan perbincangan, karena ia menolak gaji senilai Rp 8 juta sebulannya, tentu kalau ia sudah duduk sebagai karyawan di tempat ia bekerja. Banyak yang menyayangkan pernyataan alumnus tersebut dari pada yang bisa memahaminya.
Saya sebagai alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tentu harus bisa melihat dari sisi pengeluaran, meski tidak sebesar dana yang dikeluarkan untuk sebuah universitas negeri seperti UI.
Melihat dari tulisan di atas, ia banyak memakai bahasa gaul. Sedikit emosional, karena kalimatnya tidak tersusun secara sistimatis, meski memakai bahasa gaul tadi. Saya kutip beberapa pernyataannya, "Gue lulusan UI Pak ...diundang perusahaan lokal dan nawarin gaji kisaran 8 juta doang."
Dari ucapan yang ditulisnya, kita tahu ia sangat membanggakan almamaternya, UI. Tentang hal ini, saya sepakat, karena sudah tentu semua orang, tidak terkecuali, pasti akan membanggakan almamaternya di mana ia menuntut ilmu. Tetapi kalau kita membaca lanjutan kalimatnya yang hanya akan digaji "kisaran" 8 juta doang, ini baru sebatas bayangan jika menjadi karyawan kelak.
Menurut saya, ia sangat dihargai. Yang lupa ketika mendengar nilai seperti itu, yang diutamakan rasa syukur. Bersyukur itu sudah tentu tiada henti. Mulai kita diterima di UI, lulus ujian setiap semester dan hingga diwisuda, rasa syukur tersebut harus tetap ada di relung hati terdalam kita. Jika tidak, maka akan muncul apa yang dinamakan "keangkuhan intelktual."
Sekanjutnya kita membaca kalimat bahwa ia mengakui masih "fresh graduate," ini pengakuan jujur yang baik. Berarti, ia harus mengenal terlebih dahulu dunia kerja, lingkungan kerja dan jika nanti diberi posisi kepala bagian karena dinilai berpengalaman di organisasi, menahami cara memimpin, terbuka kemungkinan kariernya menanjak. Jika itu yang terjadi, bukan hanya Rp 8 juta yang akan ia terima, bahkan bisa lebih. Itu dikarenakan selalu bersyukur tadi.
Hanya sayangnya, ketika mengatakan "jangan disamakan "fresh graduate" kampus lainnya dong," ini pernyataan sangat-sangat keliru. Apalagi ditambah kalimat "level UI udah perusahaan LN."
Saya pernah menuntut ilmu di tiga perguruan tinggi. Universitas Negeri Cenderawasih, Papua, kemudian Universitas Andalas, Padang. Terakhir saya di Fakultas Hukum UI dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, sepertinya biasa saja. Yang saya cari ilmunya, bukan universitasnya. Jika di sebuah universitas bisa berprestasi, itu yang harus dicari. Bukankah menuntut ilmu itu tidak pernah selesainya, bahkan ada kalimat populer dalam mencari ilmu, "tuntutlah ilmu dari gendongan hingga liang lahat." Biasanya orang yang banyak ilmunya selalu merunduk. Ia tahu bahwa ilmu dari tuhanlah lebih banyak. Mengamati alam pun bisa menjadi ilmu.