Jadi Arswendo ingin menegaskan, ketergantungan kita kepada budaya asing dalam menilai sesuatu, sementara budaya asli bangsa ditinggalkan. Sebetulnya dari pemikiran Arswendo, dengan mencontohkan "Nasionalisme Nasi Goreng", sudah tepat bahwa bangsa ini mencintai budayanya sendiri.
"Wujud budaya tidak lahir untuk meniadakan wujud yang lain, juga tidak memusuhi. Nasi goreng lahir tidak untuk meniadakan atau memusuhi nasi liwet, nasi uduk, rendang, atau gudeg, atau apa pun. Kita boleh menikmati nasi goreng tanpa merasa bersalah, atau disalahkan," jelas Arswendo menyimpulkan.
Kehadiran Arswendo memacu generasi muda, atau guru-guru sejarah, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang hadir di acara seminar itu agar lebih kreatif untuk memaknai kemerdekaan.
Arswendo tidak berteori, tetapi dia adalah novelis produktif. Arswendo itu nama aslinya Sarwendo, tetapi karena tidak populer diubahnya dengan Arswendo dan di belakang namanya ditambah nama ayah, Atmowiloto, sehingga terwujudlah namanya sebagaimana sekarang Arswendo Atmowiloto. Lahir di Surakarta, 26 November 1948.
Berbicara mengenai karya, mungkin sudah tidak bisa dihitung, baik berupa tulisan bersambung dan novel. Menurut saya kalau kita tinjau dari novel-novel yang ditulisnya, Arswendo boleh dianggap sebagai sejarawan. Novelnya yang lahir berisi jiwa-jiwa kepahlawan atau sejarah, di antaranya, "Serangan Fajar," "Air Langga," Senopati Pamungkas", dan "Penghianatan G.30.S/PKI".
"Sebagaimana ungkap Dr. Kuntowijoyo, Sejarawan UGM, sebuah biografi adalah sejarah, maka saya juga boleh mengatakan bahwa Arswendo layak juga diakui sebagai sejarawan. Apalagi beliau selalu menulis, karena bagaimana pun kunci dari sejarawan itu menulis. Jika tidak menulis lagi, maka kesejarawanannya diragukan," ujar saya sebagai moderator di awal pembukaan seminar.
Selamat jalan Arswendo. Meski engkau telah tiada, tetapi namamu akan dikenang oleh budayawan Indonesia.