Ketika harian Merdeka masih terbit (terbit 1 Oktober 1945), koran tersebut menjadi langganan masyarakat Indonesia. Koran itu sangat berani mengemukakan pendapatnya sesuai dengan motto "Berfikir Merdeka, Bersuara Merdeka, Hak Manusia Merdeka."Juga kop Merdeka berwarna merah darah yang tidak bisa dilepaskan dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Ketika itu ada yang mengatakan mengapa Merdeka sering memberitakan negara-negara Timur. Hal ini dijawab B.M Diah kepada Kosasih Kamil di dalam buku saya Butir-Butir Padi B.M. Diah (Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman) sebagaimana diungkapkan kepada Dasman Djamaluddin, Pustaka Merdeka, 1992, 552 halaman, di halaman 386:
"Aku orangnya tidak suka adanya suatu ketidakseimbangan. Aku begitu yakin dengan politik seimbang/balancing politic. Sebab setiap kekuasaan atau perorangan yang menyangka hanya dirinya paling kuat cenderung jelek. Bisa otoriter, bisa korup, arogan dan lain sebagainya," ujar B.M.Diah kepada Kosasih Kamil.
Ditegaskan lagi oleh B.M Diah, bahwa ini sesuatu kenyataan empiris dan historis. "Oleh karena itu untuk menghindarkannya, aku selalu mencari imbangannya." Digarisbawahi oleh B.M Diah, tetapi bukan hanya keseimbangan demi keseimbangan semata. Misalnya, pada saat semua kalangan secara membabi buta pro negara-negara komunis, harian "Merdeka," bersikap seakan-akan pro Amerika Serikat. Begitu pula sebaliknya.
Harian "Merdeka," sudah tutup seiring wafatnya pendirinya B.M Diah. Saya menulis dalam tesis S2 di FIB UI sebuah judul: "Harian Merdeka Sebuah Personal Journalism B.M Diah (1945-1996), Universitas Indonesia, 2006. Apa yang menjadi kesimpulan tesis ini?
Secara bahasa bebas saya mengartikan bahwa pada awal tahun 1950-an muncul istilah Personal Journalism yang berkembang setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda. Istilah itu begitu lekat pada harian Merdeka sehingga B.M. Diah adalah harian Merdeka. Sebaliknya harian Merdeka adalah B.M Diah.
Sayang ketika Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak, B M. Diah sudah meninggal dunia pada 10 Juni 1996. AS menyerang Irak pada 20 Maret 2003. Jika B.M. Diah dan harian Merdeka masih ada, minimal korannya masih ada, maka perkembangan terakhir di Irak akan menjadi berita utamanya.
Ketidakadilan negara besar terhadap negara ketiga menjadi perhatiannya. Apalagi tentang kasus paling akhir di mana anggota senior Parlemen Irak Hassan Salem mengeluarkan peringatan tentang kegiatan mencurigakan Kedutaan AS di Baghdad. Dia mengatakan kedutaan itu menampung agen-agen Mossad (intelijen Israel) dan ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah).
"Kedutaan Besar AS di Baghdad telah berubah menjadi pusat bagi Mossad Israel dan teroris ISIS," katanya. "Kedutaan itu mencampuri urusan dalam negeri negara (Irak) dengan memata-matai, menyebarkan desas-desus dan plot-plot hatching."
Anggota Parlemen tersebut selanjutnya mengklaim bahwa kedutaan tersebut harus ditutup karena ilegalitasnya. "Pelanggaran Kedutaan AS terhadap undang-undang dan melupakan tanggung jawabnya berdasarkan hukum internasional berarti bahwa pusat itu tidak bisa disebut kedutaan dan oleh karena itu, penutupannya secara hukum diperlukan," kata Salem, dikutip "Mehr News," Senin pada 15 Juli 2019.