Judul buku karya almarhum Drs. Soepeno Sumardjo ini sangat menarik. Diterbitkan CV Karyaka, Jakarta, 1980. Jumlah halaman 122 dan buku ini diberikan kepada saya ketika beliau menjabat sebagai Pemimpin Umum Majalah Topik, Grup Merdeka.
Pemimpin Umum dan Pemimpin Perusahaan ketika saya bergabung di Grup Merdeka itu tanggal 2 September 1985, adalah Burhanudin Mohamad (B.M) Diah. Sedangkan saya sebagai Redaktur Pelaksana. Tetapi di dalam praktik sehari-hari, saya berhubungan langsung dengan B.M.Diah.
Drs. Soepeno Sumardjo adalah orang kepercayaan B.M.Diah. Lulusan Universitas Gajah Mada tahun 1968 ini mulanya berada di bidang penerangan Departemen (sekarang Kementerian) Perindustrian RI. Kemudian sejak tahun 1968 mulai masuk di lingkungan penerbitan kelompok Merdeka.
Ia selalu mendampingi B.M Diah jika berkunjung ke luar negeri, termasuk ketika B.M. Diah mewawancarai Sekretaris Jenderal Komunis Uni Soviet Mikhail Gorbachev pada tanggal 21 Juli 1987 sore di Kremlin.
Tentang China ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini memaparkan hasil pertemuan G-20 yang berlangsung di Osaka beberapa waktu lalu. Khususnya pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping.
Menurut Sri Mulyani dalam pertemuan tersebut China siap membantu Indonesia dalam melakukan pembangunan. Salah satu caranya adalah dengan memberikan spesial fund atan pendanaan khusus.
Asal tahu saja, beberapa perusahaan China sendiri saat ini sudah melakukan kerjasama dengan perusahaan Indonesia dalam meningkatnya investasi.
" Tidak ada diskusi mendalam tapi waktu itu Presiden (Joko Widodo) memang menyampaikan dalam pertemuan sebelumnya, Presiden dengan Xi Jinping disepakati bahwa China bisa mendukung pembangunan di Indonesia dengan membuat special fund," ujarnya saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Rabu 3 Juli 2019.
Tetapi apa yang dimaksud "special fund" tersebut. Inilah yang perlu dikaji oleh tim Menteri Keuangan RI. Untuk Indonesia kita juga berhati-hati mengenai kaitan ekonomi dengan politik. Di dalam buku "Ancaman dari Utara," kita selalu diingatkan kepada peristiwa dukungan RRC dalam Gerakan 30 September/PKI.
Halaman 48 dan 49 buku "Ancaman dari Utara," sangat jelas diutarakan dukungan terhadap PKI. Bahkan dicatat dalam buku ini: " ... ketika penanaman modal dipromosikan melalui undang-undang tahun 1967 dan 1968, orang-orang Tionghoa telah mendapat kesempatan untuk mengembangkan peranan ekonominya di Indonesia.
Dikatakan lebih lanjut, bahwa politik dunia RRC sejak sebelum tahun 1950 sudah jelas berambisi untuk menguasai kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu dengan gagalnya usaha RRC di Indonesia dan termasuk gagalnya dukungan terhadap rejim Pol Pot di Phnom Penh, maka kini prosesnya tinggal Beijing-Pyongyang.
Nampaknya Beijing terus berusaha supaya poros Beijing-Jakarta dapat dipulihkan melalui jalan Bangkok dan Kuala Lumpur dengan dalih menyokong gagasan Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) mengenai kawasan damai, bebas dan netral. Namun pemerintah dan rakyat Indonesia cukup waspada terhadap setiap manuver Beijing. Sudah bisa diperhitungkan bahwa kalau perlu Beijing akan menggunakan Washington untuk memulihkan poros Jakarta-Beijing.
Analisa Drs.Soepeno Sumardjo ini sangat tepat, karena RRC baru-baru ini telah mengklaim Kepulauan Spratly di Laut China Selatan sebagai miliknya.
Mengutip sumber intelijen AS, CNBC bahwa militer China telah memasang sistem pertahanan anti-kapal dan rudal udara ke udara di Laut China Selatan, kawasan yang juga disengketakan Vietnam dan Filipina.
Hal ini sudah tentu meningkatkan ketegangan antara negara-negara di kawasan yang dilalui jalur pelayaran internasional. Washington telah memperingatkan akan konsekuensi jika Beijing melakukan militerisasidi Laut China Selatan. Masalah itu juga telah diangkat Amerika Serikat dengan China.
Sebaliknya, China dalam brifing rutin, Kamis, 4 Mei 2018, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying tidak memastikan atau membantah pembangunan sistem rudal tersebu
"China membangun Kepulauan Spratly dengan tujuan damai, termasuk penempatan sejumlah fasilitas pertahanan nasional yang diperlukan guna melindungi kedaulatan dan keamanan China," kata Chunying.
"Mereka yang tidak berniat melanggar, tak punya alasan untuk khawatir," tambah dia seperti dilansir AFP.
Selain reklamasi di pulau-pulau karang dan membangun fasilitas yang dapat ditempati warga sipil, juga memiliki pangkalan udara, sistem radar dan komunikasi, fasilitas angkatan laut dan senjata pertahanan. Termasuk landas pacu bagi pesawat militer.
Menurut CNBC, rudal baru China dikabarkan telah dipasang di Karang Fiery Cross, Karang Subi dan Karang Mischief. Karang-karang itu berada di Kepulauan Spratly, di selatan China antara Vietnam dan Filipina.
China mengklaim Laut China Selatan sebagai wilayah kedaulatannya. Meskipun pada Juli 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional menolak klaim China tersebut atas gugatan yang diajukan Filipina. Namun China tidak mengakui keputusan tersebut.
Inilah yang memang harus diperhatikan Indonesia. Aksi sepihak China pernah juga dilakukannya terhadap Indonesia. Meski Gerakan 30 September dan PKI berhasil dibubarkan, pendukung PKI yaitu China, pengaruhnya di masa lalu tidak dapat kita lupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H