Perang menimbulkan masalah baru untuk sebuah negara. Baru-baru ini, Kamis, (16/05/2019) data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis laporan bahwa ada sekitar 5.322 orang meninggal dan luka-luka.
Korban ini tersebar di empat negara, yaitu Nigeria, Afghanistan, Irak dan Suriah. Itu data tahun 2017. Belum lagi data tahun 2018 dan awal tahun 2019, karena bom mobil, ranjau yang ditanam di bawah tanah, juga korban serangan udara di Yaman dan Jalur Gaza, Palestina belum direkam.
Berbicara tentang munculnya Negara Islam di Irak, tidak lengkap jika tidak melihat secara kasat mata penderitaan rakyat Irak semasa PBB juga atas desakan Amerika Serikat (AS) melakukan embargo ekonomi ke Irak.
Pada tanggal 15 September 2014, saya kembali lagi ke Irak. Menyaksikan sebagian besar kota itu sudah rusak akibat serangan udara dan darat pasukan AS. Sudah tentu korban jiwa tidak terhitung jumlahnya.
Ketika saya ingin pulang kembali ke Jakarta, Duta Besar Indonesia untuk Irak pada waktu itu, Letnan Jenderal TNI (Marinir/Purnawirawan) Safzen Noerdin menanyakan kepada saya, apa masih mau lama tinggal di Irak?
Saya jawab, "tidak." Benar dugaan saya kalau saya masih di Irak, saya tidak tahu kapan pulang karena tidak lama saya mendarat di Jakarta, Bandara dipakai pasukan AS untuk menyerang pasukan pasukan Negara Islam di Irak (ISI).
Kemudian tanggal 9 April 2013, kepemimpinan ISI berpindah ke tangan Abu Bakar al-Baghdadi. Di tangannya, ISI berubah nama menjadi ISIS, karena kelompok ini sudah berkembang ke Suriah.
Sebuah tapak-tapak sejarah yang juga tidak perlu dilupakan. Tetapi bagaimana Irak sekarang? Penuh dengan sejarah kelam anak-anak Irak sebagaimana dilaporkan PBB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H