Bangsa Indonesia pada tanggal 1 Mei 2019 baru saja memperingati Hari Buruh Internasional. Kelihatannya perayaan hari buruh ini sedikit mengikis ingatan kita, bahwa 1 Mei 2019 juga, bangsa Indonesia memperingati hari integrasi Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hanya yang terlihat ke permukaan adalah peringatan Hari Buruh Internasional, sedangkan peringatan 1 Mei 1963, sedikit lepas dari ingatan bangsa Indonesia yang tidak berada di Papua. Sebenarnya, hari bergabungnya Papua ke dalam wilayah RI, selain berdampak di Papua dan nasional, juga berpengaruh secara internasional, karena penyelesaian Papua melibatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Proses kembalinya Irian Barat (Papua) ke pangkuan NKRI itu memang benar diambil alih langsung oleh pemerintah Indonesia. Tetapi hal itu melalui prosedur yang sah dan demokratis serta diterima oleh hukum Internasional.
Berbicara tentang hukum internasional, pasti melibatkan negara lain. Misalnya di PBB pada bulan Oktober 1962, bendera PBB terlihat berkibar dan berdampingan dengan sang merah putih. Namun pada tanggal 1 Mei 1963 bendera PBB diturunkan dan sang merah putih tetap berkibar sampai saat ini di Papua. Hal itu berarti bahwa kembalinya Papua Barat/Irian Barat telah final dengan terbitnya Resolusi PBB yang dicetuskan dalam perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962. Perkembangan di New York ini menunjukkan bahwa masalah Papua tidak akan selesai hanya dengan proses angkat senjata, Trikora.
Operasi Trikora adalah konflik dua tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima.
Oleh karena itu, sesuai dengan perjanjian "New York", bahwa hak menentukan nasib sendiri penduduk Irian Barat telah dilaksanakan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang dilaksanakan pada tanggal 14 Juli hingga bulan Agustus 1969 yang menyatakan bahwa penduduk Irian Barat tetap bagian yang tak terpisahkan dari bingkai NKRI.
Hasil dari Pepera yang menunjukan semuanya memilih dan menentukan, bahwa Irian Barat tetap berada dalam NKRI dan selanjutnya PBB dalam sidang Majelis Umumnya tanggal 19 November 1969 telah mengeluarkan resolusi PBB Nomor 2504 yang menegaskan pengakuan PBB atas kedaulatan NKRI, termasuk Irian Barat di dalamnya, maka Pepera tersebut merupakan keputusan yang sudah final dan sah menurut hukum internasional.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda.
Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional.
Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun. Selanjutnya pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak.
Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua bagian barat, atas perintah Presiden Soekarno dalam Trikora, maka Belanda mempercepat program pendidikan di Papua bagian barat untuk persiapan kemerdekaan. Sebagai kelanjutannya, maka pada 17 Agustus 1956, Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Tidore dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah yang dilantik pada tanggal 23 September 1956.
Tentang Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah gerakan separatis yang didirikan tahun 1965. Mereka bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian barat lepas dari Pemerintah Indonesia.
Istilah (Kelompok Kriminal Bersenjata) KKB merupakan istilah yang pas untuk mengatakan bahwa mereka kelompok bersenjata dan berada di wilayah NKRI. Jadi setiap kelompok bersenjata di NKRI harus ditumpas habis.
Ketika saya kuliah di Universitas Cenderawasih di Abepura, Jayapura, terakhir tahun 1979 setelah meraih Sarjana Muda Hukum, OPM banyak berkeliaran di kampus. Oleh karena saya terlibat organisasi ekstra Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pangdam Cenderawasih waktu itu, CI Santoso, mantan Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) sering menanggil saya untuk berdiskusi tentang OPM. Jadi, saya paham betul tentang sepak terjang OPM di Papua, khususnya di kampus Universitas Cenderawasih.
Sebelum era reformasi, provinsi yang sekarang terdiri atas Papua dan Papua Barat ini dipanggil dengan nama Irian Barat, kemudian Irian Jaya.
OPM merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah bagian Indonesia maupun negara-negara Asia lainnya. Warna kulit dan spesifik tubuh mereka, tidak sama dengan penduduk Indonesia lainnya. Tetapi harus diingat, fakta sejarah menunjukkan, Papua bersatu ke dalam NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia, di mana pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia.
Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.
Pada tanggal 1 Juli 1971, Nicolas Jouwe dan dua komandan OPM yang lain, Seth Jafeth Raemkorem dan Jacob Hendrik Prai menaikkan bendera Bintang Fajar dan memproklamasikan berdirinya Republik Papua Barat. Namun, pemerintahan ini berumur pendek, karena ternyata segera ditumpas oleh militer Indonesia di bawah perintah Presiden Soeharto.
Tahun 1982, Dewan Revolusioner OPM didirikan, di mana tujuan dewan tersebut adalah untuk menggalang dukungan masyarakat international untuk mendukung kemerdekaan wilayah tersebut. Mereka mencari dukungan antara lain melalui Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Gerakan Non-Blok (GNB), Forum Pasifik Selatan, dan Association of South East Asia Nation (ASEAN).
Berarti buat Indonesia, masih banyak tugas yang harus diselesaikan tentang Papua. Hendaknya dimulai dari hal kecil, menghargai Sejarah Papua, seperti ikut memperingati hari Integrasi Papua agar generasi penerus bisa belajar dari sejarah. (Foto di bawah, kota Jayapura, Papua di malam hari)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H