Debat Calon Presiden Republik Indonesia (RI) antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, Sabtu malam, 30 Maret 2019, menurut saya sangat menarik. Khusus untuk saya, memang menantikan perkembangan pernyataan A.M. Hendropriyono yang sebelumnya mengatakan kepada wartawan, bahwa Pilpres kali ini merupakan pertarungan antara Pancasila dengan Khilafah.
Malam tadi dalam adu debat, sangat jelas penuturan Capres yang juga Presiden RI sekarang ini, Jokowi bahwa Prabowo itu Pancasilais sejati. Berarti asumsi dari A.M.Hendropriyono itu kita lupakan saja. Siapa yang akan jadi presiden untuk lima tahun mendatang, kita serahkan kepada pilihan rakyat Indonesia. Bebas dan Rahasia.
Prabowo Subianto, namanya mencuat ke permukaan setelah partai yang didirikan dan dipumpinnya sekarang, Partai Gerindra berhasil memenangkan calon Gubernur DKI yang diusungnya untuk menjadi gubernur lima tahun ke depan. Sudah tentu bukan hanya Gerindra yang dianggap berhasil, tetapi PKS dan sejumlah tokoh penting berperan dalam memenangkan Anies-Uno memimpin Jakarta.
Jakarta adalah barometer. Demikian sebahagian masyarakat memprediksinya. Oleh karena itu, kemenangan ini dianggap kesuksesan Partai Gerindra dan partai pendukungnya untuk mempersiapkan diri menghadapi Pilpres 2019 ini. Buat Prabowo kemenangan ini lebih meyakinkan dirinya untuk tetap memposisikan diri sebagai pemenang, meski banyak pula mengungkap luka-luka masa lalunya sebagai seorang perwira Tentara Nasional Republik Indonesia.
Di bulan Mei 2017, kalau kita melihat ke belakang, tepatnya 22 Mei 1998, Prabowo dipecat sebagai Pangkostrad. Itu terjadi sehari setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan BJ Habibie. Mengapa secepat itu, Prabowo dipecat? Pertanyaan ini juga masih menggantung. Prabowo pernah mengatakan akan memperjelas masalah ini, kelak jika ia dipilih rakyat menjadi Presiden RI untuk lima tahun mendatang.
Prabowo dianggap, sekali lagi dianggap, bersalah mengirim pasukan Kostrad ke Jakarta. Ia dianggap menyalahi prosedur, karena yang bisa menggerakkan pasukan Kostrad itu hanya Panglima ABRI saat itu yang dipegang oleh Jenderal Wiranto. Itu sebabnya, Jenderal Wiranto langsung mencopot Prabowo. Jadi boleh dikatakan, baru saja terjadi penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharo ke BJ Habibie, maka pada 21 Mei 1998, besoknya tanggal 22 Mei 1998, Prabowo dipecat.
Dalam hal ini, partai Demokrat yang dipimpin Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pilpres dan Pemilu kali ini bergabung dengan partai pimpinan Praboeo (Gerindra). Sedangkan SBY ini termasuk team pencari fakta, sehingga Prabowo dipecat. Pastilah SBY sangat paham dengan hal ini. Sekaligus sangat paham dengan pribadi Prabowo.
Kita juga jangan lupa di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Wiranto yang memecat Prabowo, juga menghadapi masalah dengan kasus di Timor Timur. Gus Dur mengatakan, ia tetap pada pendiriannya waktu itu akan meminta Wiranto mundur sebagai menteri koordinator bidang politik dan keamanan untuk mengurangi tekanan-tekanan dari dunia internasional.
Buat Prabowo, kemenangan calon yang diusung Gerindra dan PKS dalam Pilkada DKI waktu itu, menurut saya merupakan angin segar, khususnya untuk Prabowo di bidang politik. Keoptimisan ini membuat dirinya maju lagi sebagai Calon Presiden dalam Pilpres 2019. Ia sudah bernafas lega sebagai seekor burung Rajawali yang selalu terbang sendirian di udara. Sudah tentu, mencoba memperbaiki kekalahannya ketika berpasangan dengan Hatta Rajasa sewaktu menjadi Calon Presiden ke-7 dalam Pilpres 2014.
Pagi ini juga, saya menerina kiriman dari seorang teman tentang ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikoesoemo. Intinya ingin mengatakan bahwa ayah Prabowo itu penberontak, karena pernah bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Jika membaca tulisan saya wawancara langsung dengan Ahmad Husein, pimpinan PRRI yang mengatakan, ia bukan pemberontak, maka sangat pahamlah kita, bahwa kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah menjadi kunci permasalahan. Sudah tentu ingin mengingatkan Presiden Soekarno agar tidak terlalu dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Akhir perjalan ayah Prabowo, ia dipanggil ke Singapura dan menjadi menteri beberapa waktu lamanya di masa Presiden Soehato. Sedangkan pimpinan PRRI Ahmad Husein, di akhir hidupnya dimakamkan di Makam Pahlawan, Kuranji, Padang, Sumatera Barat. Bahkan Syafruddin Prawiranegara diangkat jadi Pahlawan Nasional. Saya menganggap PRRI itu bukan pemberontak, karena saya pernah wawancara langsung dengan Ahmad Husein.