Harmoko, wartawan, Menteri Penerangan Republik Indonesia (RI) 19 Maret 1983-16 Maret 1997, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI 1997-1999 dan Ketua MPR RI 1997-1999, boleh jadi paham betul mengenai sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966.
Harmoko ketika peristiwa Supersemar itu bernasib sama dengan rekan lainnya, karena surat kabarnya ikut dibreidel, di mana pada 24 Februari 1965 jelang Supersemar, ada sekitar 21 surat kabar di Jakarta dan Medan, karena mendukung Badan Pendukung Soekarno (BPS). Kemudian pada 23 Maret 1965 dilanjutkan dengan penbreidelan delapan harian dan mingguan di Jakarta, Padang, Medan dan Semarang.
Jadi di waktu Supersemar itu, hanya Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang terbit. Kita ketahui kedua media ini milik Angkatan Bersenjata RI. Jika bicara tentang Supersemar, itu dipublikasi sehari sebelumnya.
Kenapa banyak berasumsi bahwa Harmoko, selain Jenderal Soeharto dan tiga jenderal lainnya (Basoeki Rachmat, M.Jusuf dan Amir Machmud), maka Harmoko boleh jadi mengetahui Supersemar yang asli. Ia adalah orang kepercayaan Soeharto. Di samping setelah itu menjadi Ketua DPR dan MPR RI.
Suka atau tidak suka, Supersemar tetap menjadi bahan pembicaraa bangsa Indonesia. Sekarang, 11 Maret 2019, sudah 53 tahun berlalu, tetapi tidak ada data yang baru mengenai surat tersebut. Tetap saja Supersemar yang palsu tersimpan rapi di Arsip Nasional Republik Indonesia. Sementara yang asli tidak juga ditemukan.
Duduk sebagai panelis, Dr.Fuad Bawasir (Mantan Menkeu RI), Subiakto Tjakrawerdaya (Mantan Rektor Universitas Trilogi) dan saya sendiri Dasman Djamaluddin,SH,M.Hum (Penulis buku Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar).
Hadir pula Viva Yoga Mauladi, anggota DPR RI Komisi IV yang didaulat sebagai moderator dalam kegiatan "Focus Group Discussion" tersebut yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar. Tetapi acara ini masih sebatas diskusi. Yang dipertanyakan, di manakah Supersemar asli berada, masih tetap misteri.
Sejarawan Universitas Indonesia Anhar Gonggong menyatakan, keberadaan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) seharusnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Menurut dia, salah satu kejadian sejarah tersebut telah usai.
"Apalagi Pak Harto sudah meninggal, Bung Karno juga sudah meninggal," ujar Anhar dalam diskusi tersebut.
Saya sebagai salah seorang panelis, sudah tentu setuju saja dengan pendapat Sejarawan Anhar Gonggong tersebut. Hanya yang perlu saya tekankan, ujar saya, generasi penerus tidak dapat menemukan arsip asli dari Supersemar.
"Sebenarnya jika berbicara mengenai menemukan arsip yang asli di masa Belanda, kita bisa menemukan di Negeri Belanda, tetapi di masa kemerdekaan sekarang ini, tidak mungkin kita tidak bisa menemukan arsip asli. Apakah tentang Supersemar asli bisa kita temukan, di samping demi pembelajaran tentang Ilmu Perundang-undangan buat mahasiswa Fakultas Hukum, juga mengajari kita agar berhati-hati menyimpan sebuah arsip penting bernilai sejarah," ujar saya dalam diskusi tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H