Ini adalah rumah pribadi Presiden Republik Indonesia Pertama, Ir. Soekarno di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Sekarang rumah bersejarah itu tidak ada lagi. Rumah itu diruntuhkan Bung Karno pada tahun 1962. Entahlah kenapa diruntuhkan oleh pemiliknya sendiri, kita pun tidak mengetahuinya.
Sebelum menjadi presiden pada tahun 1945, Ir. Soekarno telah mendiami rumah tersebut bersama istrinya, Ibu Inggit Ganarsih. Baca Ramadhan KH: "Kuantar ke Gerbang" (Jakarta: Sinar Harapan, 1988). Halaman 284 dari buku itu: "Aku merasa beruntung karena kami pindah rumah dari 'Oranje Boulevard 11 ke Pegangsaan Timur 56...," ujar Ibu Inggit Ganarsih, istri Bung Karno.
Tetapi Ibu Inggit Ganarsih tidak sampai mendiami rumah tersebut bersama Bung Karno hingga Proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan dan setelah Bung Karno menjadi presiden. Rumah itu telah ditinggalkan Ibu Inggit sebelum proklamasi karena keinginan ia sendiri agar diceraikan Bung Karno, sebab presiden pertama Indonesia itu ingin menikah lagi dengan Ibu Fatmawati.
Halaman 288, alinea pertama buku Cindy Adams berjudul "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" (Jakarta: Ketut Masagung Corporation, 2001), "Inggit mengamuk seperti orang gila. Dia berteriak-teriak kepadaku. Barang-barang beterbangan dan sebuah cangkir mengenai pinggir kepalaku," ujar Bung Karno.
Jadi sekaligus membantah kritikan dari keluarga besar Ibu Inggit bahwa Ibu Inggit tidak mungkin melakukan hal itu. Hal itu saya baca di media, ketika Ibu Inggit telah meninggal dunia pada 13 April 1984 di usia 96 tahun. Seandainya saja kritikan itu dimunculkan semasa Ibu Inggit masih hidup.
Bagaimana pun selama 20 tahun mendampingi Bung Karno, Ibu Inggit Ganarsih wajar marah atau mengamuk. Itu manusiawi. Siapa pun akan melakukan hal tersebut jika akan diduakan. Itu juga menunjukkan rasa cinta sejati Ibu Inggit kepada suaminya, Bung Karno.
Saksikanlah wajah Ibu Inggit ketika Bung Karno menjumpainya untuk meminta maaf dan ketika ia berdiri di samping jenazah Bung Karno yang meninggal dunia lebih dahulu dari Ibu Inggit pada 21 Juni 1970. Wajah Ibu Inggit selalu ikhlas menerima apa pun yang terjadi.
Kembali kepada rumah pribadi Ir. Soekarno, bagaimana pun sebaiknya rumah itu dibangun kembali. Bukan hanya untuk kita, tetapi yang lebih penting untuk generasi sesudah kita. Generasi penerus.
Penegasan selanjutnya adalah untuk generasi penerus yang sudah berkarya, berbuat. Lihatlah bagaimana tokoh Soekarno sudah bisa dinikmati bangsa Indonesia di berbagai bioskop Tanah Air. Tetapi kontra pun tak terhindarkan. Misalnya Megawati Soekarnoputri tidak puas dengan film ayahnya tersebut. "Tidak menunjukkan ketokohan Soekarno sesungguhnya... mereka tidak meminta klarifikasi dari keluarga," ujar Megawati, mantan Presiden RI tersebut.
Pada dasarnya, pembuatan film tokoh sejarah harus melalui diskusi mendalam. Apalagi membuat film seperti Soekarno, Bapak Bangsa Negara RI. Jika keliru mamaknai, menjiwai roh film tersebut, akan dinilai banyak orang bahwa film itu mencederai nasionalisme bangsa. Proses film Slank saja "Slank Nggak Ada Matinya", diikuti anggota Slank dari awal sampai siap diputar di bioskop dengan seksama.
"Dari proses mematangkan skenario, shooting, editing, hingga soundtrack, anak-anak Slank, terutama aku, pasti hadir," ujar Bimbim. Tidak hanya itu, pemilihan para pemain. .. juga sesuai permintaan Slank. Jangan sampai citra dan taste-nya jauh dari Slank." Itulah proses pembuatan film Slank yang seharusnya dicontoh.
Jika Slank saja melakukan hal tersebut, apalagi film Soekarno. Kita tidak ingin pula film selalu dikaitkan dengan komersial, sebagaimana Megawati katakan. Ya, komersil silakan, tetapi penghayatan tentang film yang dibuat jangan tidak terwakili.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H