Tampil di sebuah ruangan di Jakarta Theatre, H. Harmoko, mantan Menteri Penerangan Republik Indonesia, mantan Ketua MPR/DPR dan mantan Ketua Umum Golongan Karya itu terlihat sehat dalam rangka merayakan ulang tahunnya ke-80.
Tahun lalu, 2018, jelang ulang tahunnya ke-79, 7 Februari 2018, tiga hari sebelumnya, Harmoko terlihat di Rumah Sakit Mitra, Jakarta Selatan. Ia terbaring dengan diinfus. Menurut keluarganya, Harmoko terserang infeksi paru-paru.
Ingat Harmoko, sudah tentu bangsa ini ingat ketika massa ingin masuk ke Gedung MPR/DPR RI dalam aksi unjuk rasa saat tumbangnya penerintahan Presiden Soeharto.
Baca juga: Seandainya Harmoko yang Jadi Menkominfo
Aksi demo kemudian berakhir dengan meluapkan rasa gembiranya di Gedung MPR/DPR. Mereka memenuhi puncak gedung yang setengah melingkar itu, bahkan ada yang menceburkan kegembiraanya di kolam di depan gedung tersebut.
Era baru telah dimulau. Era Reformasi. Nama Harmoko waktu itu dihujat, karena dia dianggap bertanggung-jawab atas turunnya Soeharto. Pada waktu itu Harmoko menjabat sebagai Ketua MPR/DPR RI.
Beliau pula pada saat-saat kritis itu meminta Soeharto mundur, karena maraknya aksi unjuk rasa di berbagai daerah meminta agar Presiden Soeharto mundur.
Pada sisi yang lain, siapa yang tidak tahu kedekatan Harmoko dengan Soeharto. Ungkapan yang selalu muncul waktu itu ketika sebelumnya menjabat Menteri Penerangan RI, " sesuai petunjuk Bapak Presiden."
Baca juga: Harmoko Itu Boleh Jadi Paham Betul tentang Sejarah Supersemar
Harmoko adalah "kesayangan" Soeharto saat itu. Turunnya Soeharto memang memunculkan hal-hal tidak enak di telinga anak didiknya itu. Harmoko dianggap penghianat.
Bahkan ketika Harmoko menjenguk ke rumah sakit saat Soeharto sakit, tidak diizinkan bertemu dengan beliau. Inilah politik. Tidak ada persahabtan sejati, yang ada adalah kepentingan.
Sewaktu saya mengunjungi Laksamana TNI (Purn) Soedomo dalam rangka menulis buku Letjen TNI (Purn) Rais Abin, kembali saya mendengar tentang Harmoko.
Baca juga: [Serial Orba] Harmoko Bukan Sekadar Hari-hari Omong Kosong
"Ada tiga orang yang tidak disukai Soeharto ketika lengser sebagai Presiden RI. Pertama, Harmoko. Kedua, Ginanjar Kartasasmita. Ketiga, Akbar Tanjung," ujar Soedomo dan menyebutnya sebagai penghianat.
Soedomo menyebut juga nama BJ Habibie. Sudah tentu lepasnya Timor Timur merupakan luka mendalam dalam diri Soeharto. Jadi, ujar Soedomo ketika itu, jika Soeharto ingin menghadiri undangan, ia telepon dulu Soedomo. Ada tidak orang yang tidak disukainya sebagaimana nama-nama di atas. Jika ada, Soeharto menunggu sebentar hingga orang dalam daftar tersebut pulang dulu. Sesudah itu Soeharto pun hadir.
Tentang Harmoko ini bukanlah asing buat para mantan awak "Merdeka," karena awal menjadi wartawan selesai SMA adalah menjadi wartawan di harian pimpinan almarhum Burhanudin Mohamad (B.M) Diah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H