Nama Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H mulai saya kenal ketika mendaftar sebagai Mahasiswa FHUI (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) Program Ekstensi tahun 1995-2003. Saya mengambil Program Kekhususan Hukum Hubungan Negara dan Masyarakat atau Hukum Tata Negara.
Ketika mempertahan skripsi di FHUI, saya berhadapan langsung dengan Prof. Jimly. Baru-baru ini ada keinginan untuk kembali bertemu Prof Jimly sehubungan dengan kepengurusan Ikatan Cendikiawan Muslim se Indonesia (ICMI) Organisasi Daerah Kota Depok, Periode 2011-2016. Kepengurusan di mana saya sebagai Ketua Divisi Hukum dan Hak Azasi Manusia, memang sedikit terganggu, karena hingga hari ini, kepengurusan tersebut belum berganti nakhoda.
Kenapa harus bertemu Prof. Dr. Jimly? Hal tersebut dikarenakan ia adalah pemegang pucuk pimpinan tertinggi di Organisasi Cendikiawan Muslim se Indonesia yang awal mulanya didirikan oleh Prof. Dr. Ir. Ing. B.J. Habibie .
Sekilas tentang Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. Ia adalah seorang doktor dari Universitas Indonesia pada 1990 dan dari Van Vollenhoven Institute, serta Rechts-faculteit, University Leiden, program doctor by research dalam ilmu hukum (1990). Pada tahun 1998, Jimly memperoleh gelar Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara FHUI.
Pada masa Presiden Soeharto, Jimly pernah menjabat Staf Ahli Menteri Pendidikan (1993-1998) dan kemudian diangkat menjadi Asisten Wakil Presiden RI B.J. Habibie. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati, ia kembali menjadi guru besar FHUI dan kemudian dipercaya menjadi Penasihat Ahli Menteri Perindustrian dan Perdagangan (2001-2003), Tim Ahli PAH I BP-MPR (2001-2002) dan Penasihat Ahli Setjen MPR-RI dalam rangka Perubahan UUD 1945 (2002-2003).
Sebelumnya, ketika Presiden B.J. Habibie membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani pada tahun 1998. Jimly dipercaya menjadi Ketua Kelompok Reformasi Hukum sedangkan Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Kelompok Kerja Reformasi Politik. Selain menyiapkan berbagai bahan untuk RUU, Pokja juga ditugasi untuk melakukan kajian Perubahan UUD 1945 dan kemungkinan Sistem Pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat. Di saat genting pasca mundurnya Presiden Soeharto dan B.J. Habibie menjadi Presiden, ia dipercaya menjadi Sekretaris Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum yang langsung diketuai oleh Presiden dengan Ketua Harian Menkopolkam.
Jimly banyak terlibat dalam perancangan UU bidang politik dan hukum, dan terakhir ia aktif sebagai penasihat Pemerintah dalam penyusunan RUU tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah RUU mendapat persetujuan bersama tanggal 13 Agustus 2003, ia dipilih oleh DPR menjadi hakim konstitusi generasi pertama pada tanggal 15 Agustus 2003, dan kemudian terpilih menjadi Ketua pada tanggal 19 Agustus 2003.
Jimly juga dipercaya memimpin MK selama dua periode (2003-2006, dan 2006-2008). Setelah masa tugasnya selesai, sampai masa pendaftaran ditutup oleh DPR, ia tidak mencalonkan diri kembali sebagai hakim konstitusi. Namun, atas desakan semua partai, ia akhirnya bersedia meskipun untuk itu masa pendaftaran calon hakim terpaksa diperpanjang untuk kemudian dilantikan kembali menjadi hakim konstitusi.
Namun, setelah pelantikan dan kemudian diadakan pemilihan Ketua, Jimly tidak terpilih sebagai Ketua untuk periode ketiga. Ia digantikan hakim baru, yaitu Mahfud MD yang berhenti dari DPR untuk mengabdi menjadi hakim konstitusi. Setelah beberapa bulan kemudian, Jimly mengundurkan diri dari jabatan hakim konstitusi dan mulai sejak 1 Desember 2008 tidak lagi berstatus sebagai hakim.
Jimly memang merasa telah selesai melaksanakan tugas sejarah dalam membangun dan mengokohkan keberadaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai lembaga peradilan yang modern dan tepercaya. Bahkan Ketua yang baru sudah terpilih sebagaimana mestinya untuk meneruskan estafet tugas konstitusional mengawal konstitusi.
Banyak kritik yang dilontarkan atas pengunduran dirinya itu dari para anggota DPR. Namun, Pemerintah sangat menghargai jasa-jasanya dalam membangun lembaga Mahkamah Konstitusi dengan baik. Untuk itu pada bulan Agustus 2009, ia dianugerahi oleh Presiden, Bintang Mahaputera Adipradana.