Ide untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, jelang Pilihan Presiden Republik Indonesia tahun 2019 ini semakin nyaring terdengar. Salah seorang Calon Presiden, Prabowo Subianto berkali-kali mengumandangkan jika ia terpilih akan serius mempelajari ingin mengamandemen UUD 1945. Hal itu sudah masuk dalam agendanya jika terpilih.
Bahkan ada yang meminta harus dilakukan pemungutan suara secara langsung dari rakyat (voting), agar amandemen itu bisa terwujud. Entahlah, apa ini bisa terwujud.
Yang jelas tentang amandemen ini sudah lama disuarakan. Bayangkan, hari Rabu, 20 Mei 2015, pukul 6.40 WIB, Radio El-Shinta meminta saya melakukan wawancara langsung. Memang tema-nya tentang Hari Kebangkitan Nasional, tetapi akhirnya bermuara di gagasan Amandemen UUD 1945. Waktu ini, saya sedang dalam perjalanan menuju ke sebuah tempat. Penyiar Radio El-Shinta, Niken menanyakan kepada saya seputar hari tersebut seraya memperdengarkan kilas balik arti penting hari Kebangkitan Nasional.
Sayup-sayup terdengar kilas balik hari bersejarah bagi bangsa Indonesia tersebut. Lahirnya Perkumpulan Budi Utomo, 20 Mei 1908 merupakan awal dari kebangkitan nasional bangsa Indonesia. Jika dilihat sepintas, memang pendirinya pemuda Jawa dan berpakaian adat Jawa. Akan tetapi, dilihat dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Budi Utomo, tampak sudah menuju ke arah cita-cita nasional.
Menurut saya, Kebangkitan Nasional masih tetap relevan. Apa lagi kalau dikaitkan dengan perjalanan bangsa sekarang ini. "Kita gagal meneruskan pemikiran-pemikiran bangsa sejak pemerintahan Soekarno ke Soeharto. Ada garis putus dalam pemerintahan kita.
Seharusnya garis itu berlanjut. Kalaulah ada konsep-konsep Bung Karno tidak sesuai, kan bisa dimodernisir. Waktu itu, dianggap tidak bermanfaat sama sekali. Kita bisa ambl contoh Republik Rakyat China sekarang ini. Negara itu mampu bangkit menjadi negara yang diperhitungkan"
"Kita sekarang terbelenggu dengan utang yang besar," ujar saya. "Memang di masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pernah dibayar. Pertanyaannya sekarang, sudah mampukah kita tidak berutang lagi dan betul betul 100 persen mengandalkan produksi dalam negeri ?," tanya saya.
"Selain itu," demikian ujar saya, "jalan satu-satunya adalah merevisi kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini saya mencontohkan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) dan Legiun Veteran RI (LVRI) yang sudah jauh hari mengingatkan."
Ikatan Alumni Universitas Indonesia dalam catatan saya pernah mendesak amandemen agar UUD 1945 dikaji ulang, karena banyak pasal yang tidak menjiwai semangat Pancasila dan UUD 1945 itu.
Ketua Iluni UI Chandra Motik Yusuf waktu itu mengatakan, kemerdekaan yang selama ini diperjuangkan belum bisa membuat rakyat Indonesia sejahtera. Pasalnya, dari segala aspek yang ada, Indonesia masih lemah.
"Kondisi negara kritis, sarat dengan persoalan, antara lain lemahnya penegakan hukum, oligarki partai, kartel ekonomi, korupsi, infrastruktur, kesehatan, keragaman, dan pendidikan," kata Chandra di Depok, pada hari Sabtu , 29 Maret 2014. Ini ada dalam catatan saya.
Tidak hanya Ketua Iluni UI, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), juga waktu itu, Jenderal (Purn) TNI Ryamizard Ryacudu menambahkan, pengkajian ulang terhadap amendemen UUD 1945 harus dilakukan dengan benar. Sehingga bisa merubah jalan kehidupan berbangsa menuju yang lebih baik.
"Selain itu juga bertujuan untuk membuat generasi bangsa ke depan memahami isi UUD," ujarnya.
Pernyataan mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal (Purn) TNI Ryamizard Ryacudu, sama dengan yang diperdengarkan Legiun Veteran RI (LVRI). LVRI telah mengeluarkan Pokok-Pokok Pikiran Kaji Ulang Perubahan UUD 1945, pada tahun 2013.
Mereka ini hadir tanpa membusungkan dada. Bahkan dengan rendah hati, usia yang uzur (seperti Letjen/Purm Rais Abin/Angkatan Darat, sekarang memasuki usia 93 tahun), tetapi masih aktif memimpin Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Kalaupun harus bolak balik ke rumah sakit,adalah hal yang wajar di usia tersebut.
Sejauh ini diakui bahwa Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan perubahannya telah mengubah secara radikal bangunan sistem pemerintahan Indonesia. Ada beberapa lembaga negara yang kehilangan fungsi dan kewenangannya seperti MPR. Majelis itu tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara karena lembaga itu menjadi bikameral yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H