Kamis, 23 Agustus 2018, saya berbincang-bincang dengan anak perempuan Gubernur Papua, dulu namanya Irian Barat di kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, almamater saya.
Banyak cerita yang diungkapkannya tentang sang ayah, Gubernur Integrasi Irian Barat, 1963-1964. Perjuangan sang ayah hingga pembangunan di Irian Barat. Terutama rasa kecintaannya kepada tanah airnya Indonesia sehingga ia menolak hadir pada hari Proklamasi kemerdekaan negara Papua Merdeka pada 1 Desember 1961 di Jayapura, waktu ini namanya masih Holland. Buat Belanda ini merupakan pukulan berat untuk Belanda, karena Eliezer Jan Bonay adalah anggota Nieu Guinea Raad tidak ikut hadir untuk merayakan upacara penting tersebut.
Eliezer Jan Bonay meninggal dunia pada 13 Maret 1990. Jebazahnya dikremasi pada tanggal 19 Maret 1990 di Krematirium Kranenburg Belanda. Ia meninggalkan isteri ketiganya, bernama Djuariah, pada tanggal 1 Juli 1964 di Pacet, Cianjur, Jawa Barat dengan status duda setelah menjadi mualaf. Seluruh keterangan ini disampaikan puterinya Riyanti Puspita Suriani Bonay kepada saya.
Isteri pertama Eliezer Jan Bonay adalah Ana, sudah meninggal dunia. Isteri keduanya, Esther, juga sudah meninggal dunia. Hanya isteri ketiga Eliezer Jan Bonay, yaitu Djuariah sebagaimana foto terbarunya di bawah ini.
"Sejarah adalah fakta. Torehan tinta sejarah bisa tak berbekas. Saksi sejarah bisa tak bersuara. Namun sejarah adalah fakta. Jejak peristiwa akan selalu ada. Meski waktu tak mampu melawan lupa.
Kebenaran jawaban dari kesalahan. Hukuman balasan dari kealpaan. Semua hal ada batasan. Saat benar dan salah jadi ukuran. Dapatkah jasa jadi pertimbangan.
Jasa adalah jasa. Ditutupi sedemikian rupa. Tak kan membuat lupa. Bukan terima kasih yang diminta. Penghargaan bukan tujuan utama. Pengakuan adalah hak."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H