Inilah foto dari Kompas.com yang memperlihatkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), sekalugus Ketua Umum Partai Golongan Karya, Setya Novanto memakai baju tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Saya mengikuti perkembangan ini sejak 4 Mei 2017, yaitu sejak Ketua Umum Partai Golkar itu tersandung kasus e-KTP. Intinya hanya satu, sangat menarik. Penuh drama, yang mengajarkan kepada kita kepada nasihat orang tua zaman dahulu, "nak jujur ya, jangan berdusta."
Kita tidak mengatakan, drama ini penuh dusta. Tetapi kalau kita menyaksikan informasi yang berkembang setelah Setya Novanto mengalami kecelakaan, berpindah dari rumah sakit dan akhirnya memakai baju tahanan KPK, ada infotmasi sebenarnya yang sedang disembunyikan. Ia tidak bisa bangun, berbicara sebentar, tidur lagi.
Terdengar lagi informasi, ia di infus dengan jarum anak-anak. Bahkan yang lebih mengagetkan, ada yang mengatakan, Ketua DPR RI ini akan mengidap penyakit lupa dan harus berobat ke luar negeri.
Konsekuensinya jika berobat ke luar negeri, maka KPK harus mencabut larangan pergi ke luar negeri. Kita sebagai masyarakat tidak mengetahui betul apa yang sedang terjadi waktu itu. Kita hanya menyaksikan dari jauh, dan mendengar informasi dari data akurat.
Ternyata, setelah kita menyaksikan perkembangan terakhir setelah ditahan KPK dan memakai baju tahanan KPK, Setya Novanto bisa berjalan pelan-pelan dan berbicara terputus-putus. Ia tidak lupa ingatan dan team dokter pun mengatakan bahwa ia tidak separah yang dibayangkan hingga lupa ingatan dan sebagainya.
Apa ada dusta di antara kita? Yang saya tahu, ketika seseorang ingin menjabat sebagai petinggi di sebuah organisasi, ia pasti mengucapkan janji atau sumpah jabatan. Menurut saya, ini yang kita takutkan, janji atau sumpah ini yang nantinya bisa berdampak kepada diri kita sendiri atau keluarga kita, karena kita berjanji atas nama Tuhan.
Partai Golkar memang akhir-akhir ini mengalami ujian berat. Tidak tanggung-tanggung, ketua umumnya periode 2016-2019, Setya Novanto ini disangkakan tersandung kasus e-KTP. Ia dicekal pergi ke luar negeri oleh KPK demi memperlancar penyelesaian kasus tersebut.
Sejak itu, kasus ini berkembang ke DPR RI. Terjadilah apa yang disebut penggalangan hak angket di DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Ternyata penggalangan dukungan ini memunculkan protes dari MAKI (Masyarakat Anti Korupsi) yang melaporkan Fahri Hamzah ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terkait dugaan pelanggaran etika dalam persetujuan hak angket KPK di Sidang Paripurna DPR baru-baru ini.Hasilnya hingga hari ini belum ada kejelasan, semoga nanti ada kejelasannya karena rakyat ingin tahu. Boleh jadi sudah ada informasi, tetapi saya yang tidak mengetahuinya.
Yang saya saksikan adalah kehadiran Ketua DPR yang adalah juga Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto di jajaran pimpinan DPR RI yang sedang memimpin sidang. Tidak ada yang salah. Hanya, sidang itu menjadi cacat karena banyak anggota yang keluar dari ruangan setelah Fahri Hamzah mengetok palu. Kemudian protes keras pun bermunculan.
Akhir-akhir ini Partai Golkar selalu menjadi sorotan. Saya mencatat, Golkar semasa berakhirnya kepemimpinan Presiden Soeharto selama 32 tahun dan meninggalnya beliau, mengalami berbagai cobaan dan rintangan. Selama 32 tahun Golkar (dulu enggan disebut partai) mengalami kejayaan luar biasa.
Tetapi terjadi juga perubahan drastis di tubuh Golkar. Perubahan itu dihitung sejak Soeharto lengser dari jabatan Presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998. Golkar ikut terseret ke dalamnya dan dianggap bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan Soeharto selama 32 tahun. Golkar dihujat, dicaci-maki, malah ada yang berkeinginan agar Golkar dibubarkan.
Keinginan membubarkan Golkar bukan hanya datang dari sebagian masyarakat, tetapi juga dari penyelenggara negara waktu itu, yaitu sebut saja KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika ia mengeluarkan Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juni 2001, Gus Dur memaklumatkan di poin ketiganya untuk membekukan Partai Golkar dengan dalih untuk menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru. Padahal, dalam pemilihan umum, Juni 1999, Partai Golkar berhasil meraih kemenangan kedua di bawah PDIP. Akhirnya, sejarah membuktikan bahwa keinginan untuk membekukan Golkar ditolak MA.
Sebenarnya, pada waktu itu juga, Golkar telah memasuki era baru. Golkar telah mengubah citranya menjadi Golkar "baru" yang dideklarasikan pada tanggal 7 Maret 1999 yang antara lain menyatakan Golkar akan mempelopori tegaknya kehidupan politik yang demokratis dan terbuka, Golkar akan memperjuangkan aspirasi kepentingan rakyat sehingga menjadi kebijakan politik yang bersifat publik, Golkar telah menyatakan diri sebagai partai yang mengakar dan responsif serta senantiasa peka dan tanggap terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat.
Lebih penting dari itu, Golkar telah berupaya mengambil tindakan tegas terhadap KKN dan Golkar telah melakukan koreksi yang terencana, melembaga, dan berkesinambungan terhadap penyimpangan yang terjadi di masa lalu. Sudah tentu dua poin ini perlu sekali digarisbawahi.
Pada saat itu, sebagai Bakal Calon Gubernur DKI dari Partai Golkar dimenangkan Fauzi Bowo dan berhasil menjadi Gubernur DKI. Saya dianulir karena tidak memiliki KTP Jakarta, sementara Agum Gumelar tersisih karena sampai batas terakhir pendaftaran tidak mengembalikan formulir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H