Presiden Republik Indonesia Joko Widodo akan dibunuh. Ditemukan lima bom rakitan. Sebelumnya juga ada berita bahwa Istana pun akan dibom. Itulah berita baru yang kita terima.
Di sisi lain, TVOne juga tanggal 19 September 2017 malam menampilkan diskusi seperti biasanya yang kali ini mempertemukan para Jenderal dan anaknya DN Aidit, putera alm DN Aidit, Ilham Aidit. Sudah tentu membicarakan masalah kerusuhan yang terjadi di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jalan Diponegoro sebelumnya.
Inilah wajah Indonesia yang terakhir. Suatu episode yang beruntun terjadi di Indonesia, sebuah pekerjaan rumah yang besar, mau tidak mau, suka atau tidak suka harus diselesaikan dengan bijaksana.
Persoalan bangsa ini sudah terpendam beberapa generasi.Kita tidak ingin bangsa yang besar ini tidak mampu merawatnya dengan baik.Dendam sejarah sebagaimana terungkap setelah para tokoh kunci di masanya telah tiada, pun harus cepat diselesaikan agar tidak membebani generasi berikutnya, anak cucu kita.
Pengalaman pribadi saya, beban sejarah ini mulai terungkap jelas dan bisa dipertanggungjawabkan ketika Laksamana (Purnawirawan) Soedomo meninggal, Rabu, 18 April 2012. Waktu itulah terungkap kembali kenangan ketika bertemu beliau pertama dan terakhir, di rumahnya Pondok Indah, Senin 8 Februari 2010.
Soedomo tiba-tiba bicara tentang peta perpolitikan menjelang Soeharto lengser dari jabatan Presiden RI. Pertemuan pertama, karena memang pertama kali saya berbicara empat mata atau secara khusus.Kedua, setelah itu tidak lagi bertemu hingga beliau meninggal dunia.
Diselingi humur humor kecil, Soedomo bercerita mengenai tiga orang yang sangat tidak disukai Soeharto. Tetapi di sini saya tidak menyebut dua lainnya, yang saya sebut adalah Harmoko, karena selain sama-sama mantan Wartawan Harian Merdeka , juga pernah menanyakan saya melalui BM Diah untuk datang menemuinya, tetapi belum kesampaian hingga hari ini.
Saya juga tidak ingin mengetahuinya dan menanyakan kenapa Bapak (Soedomo) ceritakan Pak? Soedomo berujar agar dalam hidup ini kesetiaan dan pengabdian sangat dibutuhkan. "Anda termasuk generasi pelanjut," ujar Soedomo dan perlu mengetahuinya.Jika kesetiaan sudah tidak ada di naluri seorang pengabdi, jelas Soedomo, inilah yang dinamakan penghianatan.
Jadi ujar Soeomo jika Pak Harto diundang ke sebuah pertemuan maka akan selalu bertanya, apakah ketiga orang itu hadir juga di pertemuan itu? Jika masih ada salah seorang dalam pertemuan itu, Soeharto menunda kehadirannya. Barulah setelah ketiga atau salah seorang dari ketiganya pulang, Soeharto hadir.
Menurut saya, mengapa Soeharto merasa tidak ingin menemui ketiga orang itu, sudah tentu berlatar belakang yang berbeda satu dengan yang lain.Yang saya ceritakan di sini adalah khusus tentang Harmoko.
Soeharto menurut Soedomo adalah tetap sosok nama besar yang pernah memimpin Republik Indonesia, selama 32 tahun. Sumber sumber lain juga mengatakan, suatu kemampuan kepemimpinan luar biasa yang harus diakui oleh teman dan lawan politiknya (senang atau tidak). Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan) merupakan dasar pembangunan bangsa ketika itu, hingga sejarah mencatat bangsa ini berhasil memperoleh penghargaan dari FAO atas keberhasilan menggapai swasembada pangan (1985). Bapak Pembangunan Nasional itu berkaitan dengan penghargaan tersebut, jelas Soedomo.