Hari ini, 15 September 2017, tiga tahun yang lalu, tepatnya tanggal 15 September 2014, pesawat yang saya tumpangi Etihad Airways sudah mendekati Bandara Baghdad, ibu kota Irak.
Memang tidak seperti bandara internasional lainnya, suasana terasa agak sepi jika dibandingkan dengan bandara internasional lainnya yang sebelumnya saya kunjungi. Maklumlah sewaktu-waktu Bandara bisa saja dipakai oleh Angkatan Udara Irak, yang sejak kedatangan saya hingga hari ini sewaktu-waktu dipakai untuk mengusir kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).
Bagaimana pun, kali ini ke Irak, saya bisa memakai pesawat jika dibandingkan perjalanan pertama ke Irak pada 13 Desember tahun 1992. Pada tanggal itu, meski tujuan utama saya ke Baghdad, Irak, tetapi langkah pertama saya tidak bisa langsung ke Baghdad seperti tahun 2014 itu. Saya harus menuju Yordania dulu. Dari sana, kemudian saya melalui darat naik taksi ke ibu kota Irak, Baghdad.
Jalan yang ditempuh waktu itu sekitar 885 kilometer yang menghabiskan waktu selama lebih kurang 13 jam. Itu pun melalui jalan datar, maklumlah melalui padang pasir yang sangat luas.Dahulu persoalan Irak adalah mengenai pemberlakuan Zona Larangan Terbang sepanjang garis paralel 36 di Utara Udara Irak dan 32 di Selatan Udara Irak.
Bukan hanya saya saja yang mengalaminya sebagai seorang wartawan, waktu itu di harian "Merdeka," pimpinanan Burhanuddin Mohamad Diah (BM Diah). Tetapi dari wartawan hingga kepala negara lain, harus melalui jalan darat.
Melalui surat BM Diah pula, saya diperkenankan masuk ke Irak oleh pemerintahan Presiden Irak Saddam Hussein.
Perjalanan saya ke Irak tahun 2014 karena diundang Duta Besar Indonesia untuk Irak waktu itu, yaitu Letjen TNI (Marinir/Purn) Safzen Noerdin.
Udara di kota Baghdad ketika itu, sangat panas. Saya dijemput di Bandara oleh staf Duta Besar. Dalam perjalanan ke Kedutaan Besar Indonesia, saya melihat masih ada gundukan tanah, akibat perang antara pasukan Amerika Serikat dan sekurunya melawan pasukan Irak yang setia kepada Presiden Irak Saddam Hussein. Pasukan Irak kalah total dan akhirnya Presiden Irak setelah melalui pengadilan, ia dianggap bersalah, karena selama pemerintahannya melakukan berbagai pembunuhan terhadap suku Kurdi dan kelompok Islam Syiah. Saddam Hussein tewas di tiang gantungan.
Perjalanan saya kali ini ke Irak dalam pengawalan militer Irak yang siap siaga di sudut kota. Foto Presiden Saddam Hussein yang ketika ke Irak tahun 1992, sudah tentu tidak ada lagi. Era Saddam Hussein telah berakhir.
Waktu saya banyak dihabiskan di Kedubes Indonesia di Baghdad. Dahulu di tahun 1992, saya hilir mudik di kota Baghdad, sekarang tidak mungkin. Bom-bom mobil hampir setiap hari meledak.
Hari Jumat, tanggal 19 September 2014, pihak Kedubes memberitahu saya bahwa besok akan diajak ke Kufa (Kufah). Besok paginya sudah dipersiapkan mobil anti peluru, milik Kedubes Indonesia di Baghdad. Untuk menjaga berbagai kemungkinan yang terjadi.
Mobil yang berisi empat orang itu, sudah tentu termasuk saya, pada hari Sabtu, 20 September 2014 keluar dari Kedubes Indonesia dengan diantar ke depan Kedubes Indonesia oleh Dubes Safzen Noerdin dan staf. Kami menuju sebuah masjid bersejarah ummat Islam, yaitu masjid di mana sahabat Nabi Muhammad SAW sekaligus menantu beliau yaitu Ali ra berkantor di samping masjid dan juga tewas ketika beliau sedang shalat subuh, juga di masjid itu.
Masjid Al-Kufa (Al-Kufah) terletak di Kufa, Irak adalah perjalanan berkesan saya selama di Irak. Sebuah masjid yang dibangun Abad VII yang luasnya 11.000 persegi. Luas masjid ini semakin bertambah, karena ketika saya ke sana, masjid ini terus dibangun. Kufa atau Kufah merupakan sebuah kota di Irak. Jaraknya 170 km di sebelah selatan kota Baghdad.
Sudah dapat dibayangkan memasuki masjid itu, saya sangat kagum. Masjid itu terawat dengan baik, bersih dan berlapis cahaya lampu. Kami diajak berkeliling oleh pengurus masjid. Saya berdoa dan shalat di masjid tersebut.
Setelah menginap semalam di Kufa, karena kami sudah begitu malam untuk melanjutkan perjalanan, besoknya hari Minggu, 21 September 2014, kami melanjutkan perjalanan ke Karbala, sekarang berbentuk banyak bangunan dan dahulu sebuah padang pasir yang luas yang disebut Padang Karbala. Di sana kami melihat berbagai makam para pahlawan Islam. Muncul pertanyaan saya, di manakah makam Hussein, anak Ali ra yang juga cucu Rasulullah?
Seseorang penjaga di sana mengatakan, makam Hussein sengaja disembunyikan ketika wafatnya, karena takut mayatnya pun digali oleh musuh. Hussein tewas di medan pertempuran, karena kekuatan lawan lebih banyak. Lehernya ditebas oleh pedang musuh dan kepala beliau ditendang ke sana ke mari oleh kaki kuda musuh. Saya sempat meneteskan air mata mendengar uraian penjaga makam dan selalu berdoa.
Kemudian kami pulang. Di tengah perjalanan, kami mampir di makam Nabi Ayub as, nabi yang dikenal kesabarannya dan sangat taat menjalankan ibadah.
Besoknya, tanggal 22 September di Kedubes Indonesia di Baghdad, saya merenungi perjalanan saya dan bersyukur, karena diizinkan Allah SWT berkunjung ke tempat bersejarah ummat Islam. Lebih jauh dari itu, saya bersyukur diberi panjang umur, karena pada tanggal 22 September adalah hari kelahiran saya.Di dalam kamar Kedubes itulah saya merenung dan berdoa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H