Tulisan ini saya kerjakan, tepat tanggal 10 Juni 2017, genap 21 tahun kepergian tokoh pers Burhanudin Mohamad Diah atau namanya lebih suka disingkat dengan B.M Diah. Di tahun 2018 ini, genap 22 tahun kepergian beliau. Ia meninggal pada 10 Juni 1996 di Rumah Sakit Jakarta. Sebelumnya dirawat di Rumah Sakit Siloam Gleneagles, Tangerang sejak April 1996.
Di usia 79 tahun, B.M. Diah meninggalkan alam yang fana ini menuju keharibaan sang pencipta. Tidak seorang pun menduga, betapa cepatnya ia berlalu, karena di usia 75 tahun, saya sering melakukan wawancara untuk buku sejarah hidupnya, hampir tiga kali seminggu. Pada waktu itu, kondisinya terlihat baik-baik saja. Di sinilah kelebihan beliau, bisa menyimpan rasa sakit. Sebetulnya, menurut sekretaris pribadinya, Eveline, saat habis wawancara dengan saya, diam-diam meluncur ke rumah sakit.
Foto di atas adalah hasil jepretan wartawan, ketika isteri BM Diah, Herawati Diah meninggal dunia. Almarhum Herawati Diah persis dimakamkan di samping suaminya B.M. Diah di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta. Saya menyebutnya sebagai lambang kesetiaan yang abadi. Dari pasangan BM Diah-Herawati, pasangan ini dikarunia dua puteri dan seorang putera.
Dua puteri itu, Adyaniwati yang menikah dengan Tribuana Said. Puteri kedua, Nurdianawati dan putera bungsu almarhum, Nurman Diah. Ketika pemakaman BM Diah, banyak tokoh-tokoh penting yang hadir di rumah duka di Jalan Patra X, Kuningan, Jakarta Selatan seperti Presiden Soeharto, Wapres Try Sutrisno, Menpen Harmoko, sejumlah menteri, Mochtar Lubis, Roeslan Abdulgani,SK Trimurti, konglomerat Liem Sioe Liong, keluarga dan kerabat almarhum.
Saya tidak hadir di acara pemakaman almarhum BM Diah itu, tetapi menulis sebuah komentar di Harian "Merdeka," edisi 11 Juni 1996 dengan judul: " Selamat Jalan Bapak B.M Diah." Ketika isteri B.M Diah, Herawati Diah meninggal dunia baru-baru ini, saya hadir di kediaman beliau dan Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Harian "Merdeka," punya ciri khas, yaitu berkop warna merah darah.Keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945. Harian ini terbit 1 Oktober 1945, hanya satu setengah bulan setelah bangsa Indonesia tengah berjuang merebut kemerdekaan.
Harian "Merdeka," mengembangkan sayapnya. Pada tahun 1948, terbit Mingguan "Merdeka."Selanjutnya "Indonesia Observer," dan Majalah TOPIK pada 24 Januari 1972. Tetapi setelah BM Diah meninggal dunia, berangsur-angsur Kelompok Merdeka runtuh.
Sebelum Harian "Merdeka" runtuh, saya dikirim BM Diah ke Irak. Memang harian ini sangat peduli kepada kepentingan Dunia Ketiga.Pertanyaannya, kenapa kebijakan harian ini dikenal di negara-negara Sosialis? Karena BM Diah tidak suka adanya suatu ketidak-seimbangan.Melalui politik keseimbangan ("balancing politic") tidak akan terjadi otoriter dan arogan.
Itulah sebabnya tulisan-tulisan BM Diah selalu membela patriotisme terhadap Irak.Ketika terjadi Perang Teluk, antara Irak dengan Amerika Serikat beserta sekutunya, Harian "Merdeka," memunculkan judul-judul yang boleh dikatakan bersemangat patriotik dalam hal membela negara Dunia Ketiga, yaitu Irak. Ketidakadilan Dewan Keamanan PBB terhadap Irak, pada waktu itu dipertanyakan harian ini.Bahkan BM Diah sendiri sering menulis berturut-turut tentang situasi terakhir di Irak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H