Daerah Istimewa Minangkabau (DIM). Itulah yang ditulis Prof Dr Ahmad Syafii Maarif di Republika co.id pada hari Selasa, 6 Desember 2016. Sudah tentu sebagai keturunan darah Minangkabau, terpanggil untuk menanggapinya.Apalagi saya sudah tiga kali ikut rapat-rapat yang dipimpin penggagasnya Pak Mochtar Naim.Terakhir, saya tidak ikut lagi, karena kesibukan saya hingga tulisan Buya Syafii ini saya baca dengan cermat dan teliti.
Buya Syafii ingin mencoba berpikiran realistis.Ingin kita semua ikut dalam pemilihan umum serentak di Sumatera Barat.Tidak terpecah oleh hal-hal yang belum pasti kita perjuangkan. Berkemungkinan setelah wakil-wakil yang kita dukung duduk di berbagai lembaga legislatif atau eksekutif, maka tidak salah gagasan itu bisa saja kita bicarakan kembali.Duduk bersama di satu meja akan lebih berdampak positif memikirkan masa depan kesejahteraan rakyat Sumatera Barat.
Saya menggarisbawahi kesejahteraan rakyat di daerah, itulah benang merah yang menjadi masalah ketimpangan antara pusat dan daerah sejak dulu.Bukankah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang diketuai Kolonel Ahmad Husein juga menuntut kesetaraan pendapatan keuangan antara pusat dan daerah di samping mengingatkan Presiden Soekarno tidak terlalu dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) ?
Saya dua kali bertemu Pak Ahmad Husein di Jakarta yang dijembati oleh suami kakak dari isteri Pak Ahmad Husein, Jusron Lamisi yang pada waktu itu kuliah bersama-sama di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Ekstensi).Apa yang dikatakan Pak Ahmad Husein di kursi rodanya."Saya bukan pemberontak."
PRRI bukanlah pemberontak.Itu data otentik yang saya peroleh dari Pak Ahmad Husein. Tetapi di dalam buku buku sejarah atau di disertasi diberbagai perguruan tinggi, PRRI itu adalah pemberontak meski kita ketahui Pak Ahmad Husein dimakamkan di Makam Pahlawan Kuranji, Padang.Memang pada waktu itu terjadi perang antara PRRI dan Pemerintah Pusat sejak bulan Maret 1958 hingga Agustus 1961.
Hampir seluruh tentara di Sumatera Barat bergabung dengan PRRI. Malah memperoleh bantuan persenjataan dari Amerika Serikat (AS). Sudah menjadi kebiasaan, AS selalu membantu opisisi di negara mana pun untuk menggulingkan pemimpin yang tidak disukainya.Di Indonesia sudah tentu waktu itu, Presiden Soekarno.
Tetapi apakah keinginan AS tercapai? Tidak. Ketika Menlu PRRI Maludin Simbolon diminta oleh salah seorang agen intelijen AS (CIA) agar memborbadir minyak Caltex di Riau, milik perusahaan AS, Simbolon menolak.Maksud AS dengan dibombardirnya milik AS di Riau, maka ada alasan AS masuk ke Indonesia.Itu tidak terjadi.Itu pula sebabnya mengapa AS tidak lagi membantu persenjataannya kepada PRRI dan kalah.Ahmad Husein diminta menyerah dan ditahan semasa pemerintahan Soekarno.
Di masa Presiden Soeharto, namanya direhabilitasi dan dimakamkan di Makam Pahlawan Kuranji, Padang.Begitu pula ayahnya Pak Prabowo, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo yang setelah PRRI kalah tinggal di Singapura. Beliau dipanggil pulang oleh Pak Harto dan diberi jabatan menteri.Seorang lagi Sjafruddin Prawiranegara, tokoh Pemerintah Daruat RI yang juga terlibat di PRRI, beberapa waktu yang lalu menjadi Pahlawan Nasional.Oleh karena itu, saya ingin menghimbau agar PRRI diberbagai buku sejarah tidak lagi disebut pemberontak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H