[caption caption="Dari kiri: Dasman Djamaluddin, Adhi Santika, Hajriyanto,Y Thohari,Roosiah Yuniarsih, Tripurtianingsih dan Jojo Rahardjo (Foto: Perpustakaan MPR-RI)"][/caption]Kamis, 3 Maret 2016, Ruang Perpustakaan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) dipenuhi para peminat buku, termasuk generasi muda unsur mahasiswa.
Bagaimana pun munculnya buku-buku baru akan menambah wawasan dan sudah tentu lebih mencerdasakan bangsa Indonesia ke depan. Buat anggota MPR, buku sangat diperlukan. Di tengah kesibukan memikirkan kepentingan rakyat, sudah tentu seirama pula dengan kebutuhan data yang akurat mengenai rakyatnya. Itu sebabnya tidak salah mengatakan bahwa buku itu adalah jendela dunia.
Di sisi lain, buku juga memberi wawasan, gagasan dan pengetahuan baru. Saya meminjam kalimat Pricahyo Wiryoutomo ketika meresensi buku saya berjudul “Jenderal Basoeki Rachmat dan Supersemar,” Penerbit Grasindo di Majalah Panji Masyarakay, No.20, 2 September 1998. Ia mengatakan, bahwa sebuah buku akan berarti bagi pembaca bila memberikan wawasan, gagasan dan pengetahuan baru. Bukan hanya itu, jelas Pricahyo, buku yang banyak dikejar pembaca juga harus menyajikan fakta, data, dan temuan baru. Terlebih lagi bagi bacaan kesejarahan, keakurasian fakta dan kronogi peristiwa menjadi kunci utama untuk menarik pembaca.
Di dalam rangka lebih mencerdaskan bangsa Indonesia pada umumnya dan para anggota Majelis khususnya, ditambah untuk lebih mempermudah para anggota MPR menemukan data baru, maka Perpustakaan MPR-RI telah melaksanakan berkali-kali diskusi.
[caption caption="Foto Bersama (Foto: Perpustakaan MPR-RI)"]
Diskusi membahas buku Jojo Rahardjo berjudul “Psikologi Positif dan Manusia Indonesia dalam Perspektif Pancasila dan Kebhinekaan.”
Jojo menguraikan mengenai Neuroscience yang diidentikan dengan psikologi positif. Intinya seluruhnya didasarkan kepada kesenangan dan kebahagiaan. Semuanya itu membutuhkan komitmen, kecerdasan, kreatifitas, hubungan sosial dan disiplin. Semuanya ini harus melalui proses keras dan kadang-kadang menyakitkan.
Intinya sudah tentu, setiap manusia mempekerjakan otaknya secara maksimal. Saya sudah tentu menyambut baik buku baru tersebut. Setiap karya atau gagasan-gagasan baru sudah tentu sangat bermanfaat buat bangsa dan negara ini ke depan.
Saya berprofesi sebagai eorang wartawan, sudah tentu melihat hal-hal positif ini dari dunia jurnalistik, di mana dapat pula disimpulkan bahwa berprofesi sebagai wartawan itu sebenarnya sangat membahagiakan. Coba bayangkan. Kadang kala untuk menulis sebuah artikel, seorang wartawan harus menafikan egonya agar tulisan tersebut muncul di tengah-tengah masyarakat bisa obyektif.
Konsentrasi wartawan itu selalu menceritakan tentang engkau, dia atau kamu. Bahkan lebih banyak bercerita tentang bangsa ini, juga bangsa-bangsa lain. Sementara ketika sedang menulis kadang-kadang lupa akan diri, lupa makan. Itulah sebabnya banyak jurnalis yang sakitnya terletak di lambung, karena makan dan minumnya jarang teratur.
Hasilnya? Kebahagiaan. Ketika besok paginya koran kita terbit dan membaca tulisan yang dibuat malah harinya, ada rasa puas dan bahagia. Apakah seorang jurnalis itu tidak berprinsip? Tidak pula demikian. Menulis itu memiliki ukuran-ukuran tertentu. Ada kalanya seorang penulis disodori uang banyak, tetapi belum tentu bisa menuliskannya, karena faktor psikologi atau jiwa. Jiwa tidak bahagia.
Seorang Soekarno ditahan bertahun-tahun, Nelson Mandela juga demikian. Initinya penderitaan itu tidak pernah dirasakannya demi sebuah tujuan untuk memerdekakan rakyatnya. Lihatlah apa yang kita rasakan sekarang sebagai bangsa Indonesia. Bangsa ini telah merdeka. Mungkin jika dilanjutkan pertanyaannya, apakah merdeka 100 persen. Hal itulah menjadi pekerjaan rumah kita, tetapi bangsa ini sudah merdeka dikarenakan pengorbanan seorang Soekarno. Demikian pula pengorbanan pemimpin bangsa lainnya, seperti Bung Hatta.
Nelson Mandela pun sama. Ia menebus kebahagiaan rakyatnya dengan sebuah cita-cita besar agar bangsa kulit hitam tidak lagi dijajah oleh kulit putih. Cita-cita Mandela tercapai meski ia sendiri menebusnya dengan sebuah penderitaan. Dipenjara bertahun-tahun. Inilah yang dimaksud kebahagiaan itu ditebus dengan penderitaan.
[caption caption="Foto Bersama (Foto: Perpustakaan MPR-RI)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H