Ilustrasi - etika press (Shutterstock)
Indonesia yang penduduk Muslimnya mayoritas, sekarang sedang mendengar perkembangan informasi dari pemerintah Republik Rakyat China (RRC) tentang Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang negara itu. Amnesty Internasional mengatakan satu juta penduduk telah ditahan di "kamp pendidikan ulang."
Kamp itu sangat luas, tetapi sebagaimana kita ketahui di setiap negara komunis, akses informasi sulit kita ketahui.
Itu di negara komunis. Di Indonesia mungkin lebih terbuka dengan informasi. Namun demikian masih saja terjadi kesalahan informasi. Coba simak peristiwa hari Minggu, 17 Januari 2016. Saya menerima informasi berbeda mengenai satu peristiwa. Informasi itu dari dua media online tentang pernyataan Kepala Badan Intelijen Indonesia (BIN) Sutiyoso, nama lengkapnya Letnan Jenderal Sutiyoso.
Di media.online pertama, Sutiyoso menegaskan tidak ada ISIS di balik peristiwa bom di Gedung Sarinah, Jakarta pada Kamis, 14 Januari 2016. Tetapi di media online satu lagi sangat jelas Kepala BIN itu mengakui bahwa ISIS berada di balik aksi keji tersebut. Saya menyebutnya inilah ketimpangan informasi dari suatu peristiwa yang sama.
Nalar saya bekerja dengan cepat. Sutiyoso itu tidak mungkin melakukan pernyataan yang berbeda. Ia adalah seorang perwira tinggi militer. Pangkat Letnan Jenderal biasanya adalah pangkat yang berada satu tingkat di bawah Jenderal dan satu tingkat di atas Mayor Jenderal, lebih tinggi dari Mayor.
Bagaimana pun sebuah informasi sangat penting buat seseorang. Jika informasi yang kita kutip dari sebuah sumber tidak otentik, maka sudah tentu permasalahannya akan menjadi lain. Otentik pun saya kira tidaklah cukup. Karena bagaimana pun sumber itu harus diuji berkali kali. Sebuah sumber yang kita terima dari Majalah TIME, misalnya di masa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berlangsung sejak bulan Maret 1958 hingga Agustus 1961 di Padang (Sumatera Barat), tentu akan kita seleksi dengan ketat. Kenapa? Karena waktu itu Pemerintah Amerika Serikat membantu PRRI sementara Majalah TIME diterbitkan di Amerika Serikat.
Tidak seorang pun membantah bahwa dengan sebuah informasi akurat, ia akan menguasai dunia. Ia lebih tahu dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Tetapi apakah informasi itu dapat dipercaya tanpa melihat sumbernya?
[caption caption="Informasi yang dibaca belum tentu akurat (Foto:Dasman Djamaluddin)"]
Inilah yang membuat kita harus berhati-hati. Pada waktu bersamaan saya melihat kiriman dari seorang teman yang memaparkan sumber dari Korea Utara, di mana dikatakan:” Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un menegaskan bahwa terorisme hanya kedok Amerika untuk gulingkan negara Islam.” Berita itu ditulis dalam bahasa Indonesia. Saya bisa saja mempercayainya, tetapi lebih banyak tidak percayanya. Jika benar, sangat baik untuk kita. Tetapi kalau tidak, permasalahannya akan mengacaukan pikiran setiap orang yang membacanya.
Untuk hal ini, sementara ini saya sedikit lebih percaya berita-berita dari Korea Selatan jika berbicara tentang Korea Utara. Korea Utara sebagaimana kita ketahui adalah negara sosialis di mana banyak sumber-sumber otentik dirahasiakan. Hal utamanya, Korea Selatan dan Korea Utara merupakan dua negara yang berbatasan langsung.
Kalaulah saya mengatakan sedikit percaya, karena peristiwa yang benar, hanya kita peroleh dengan mengunjungi wilayah tersebut. Sudah tentu di sana membaca dokumentasi-dokumentasi dan melakukan wawancara di negara itu sendiri. Kesimpulannya, kita tidak bisa seratus persen mempercayainya hanya dengan membaca informasi dari Korea Selatan, Kantor Berita Perancis (AFP) dan Kantor Berita Inggeris (Reuter) atau sumber-sumber lainnya tanpa harus mengetahui peristiwa sesungguhnya. Apalagi sumber-sumber yang saya sebutkan tadi adalah sumber-sumber dari musuh Korea Utara itu sendiri.
Tentang ketimpangan informasi ini pulalah mengapa pada bulan Desember 1992, Pemimpin Kelompok Penerbitan Merdeka, B.M.Diah mengirim saya mengunjungi Rusia dan Irak. Dalam suratnya kepada Duta Besar Irak untuk Indonesia pada waktu itu (Yang Mulia Zaki al-Habba), B.M.Diah selain memperkenalkan saya sebagai wartawan Harian Merdeka, ia menulis bahwa banyak hal-hal yang perlu diketahui oleh masyarakat Indonesia mengenai negara Irak sebagai pejuang negara Dunia Ketiga. Di kalimat ini saja terlihat sangat jelas bahwa informasi yang saya peroleh langsung ke Irak seratus persen dapat dipercaya.
Laporan-lapran saya tentang kedua negara ini secara obyektif saya tulis di Harian Meredeka secara bersambung. Saya sepertinya sedikit puas dengan melihat langsung situasi di Rusia dan Irak secara langsung dan datang ke tempat-tempat yang saya tulis. Sudah tentu berbeda dengan leporan-laporan yang ditulis para wartawan kantor berita asing tersebut tentang Rusia dan Irak.
Secara ilmiah dapatlah kita katakan, fenomena ketimpangan arus informasi yang terjadi dalam komunikasi internasional terkait dengan sumber daya manusia dan infrastruktur yang mendukungnya.
Sejarah ketimpangan arus informasi ini berlangsung sejak lama dan saat ini masih mengalir tidak berimbang. Arus informasi lebih didominasi oleh negara barat yang mengalir ke negara-negara berkembang. Negara maju menjadi pemimpin dalam komunikasi internasional. Hal ini memang disebabkan karena sumber daya manusia dari negara maju lebih dianggap memiliki nilai plus dibandingkan sumber daya dari negara berkembang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI