[caption caption="Keluarga B.M.Diah (Dokumentasi)"][/caption]
Beberapa hari belakangan ini, saya sering bertemu putera almarhum BM Diah (Burhanuddin Mohamad Diah), Nurman Diah. Memang saya diminta mengedit buku ayahnya, BM Diah dan akan diterbitkan dengan judul: " Catatan BM Diah Seputar Lahirnya Proklamasi 17 Agustus 1945."
BM Diah, tokoh pemuda yang berperan membentuk gerakan pemuda sebelum Proklamasi yaitu "Angkatan Baru '45," yang ia pimpin. Gerakan inilah yang bisa dikatakan tokoh-tokoh muda mendesak tokoh tua, Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Sebelumnya pada hari Kamis, 17 Desember 2015, saya bertemu Nurman Diah di sebuah tempat pertemuan di Jakarta Pusat. Pada waktu itu, ada yang menarik dalam pertemuan ini, karena baru pertama kalinya saya mengenal dari dekat dengan anak laki-laki BM Diah tersebut. Sebelumnya, meski saya pernah menjadi wartawan Majalah Topik (Kelompok Harian Merdeka) dan Harian Merdeka di dua kesempatan yang berbeda, pun menulis buku tentang ayahnya, BM Diah, tetapi tidak pernah sekali pun bertemu dengannya.
Buat saya, di usia yang memasuki 62 tahun ini, merupakan suatu anugerah bertemu dengan anak laki-laki BM Diah yang sering disebut-sebut sang ayah. Mengapa tidak, Nurman Diah mungkin sudah tahu bahwa saya penulis buku ayahnya, tetapi tidak sekali pun bertatap muka di Redaksi Harian Merdeka, Jalan A.M.Sagaji 11 Jakartpa Pusat watu itu.
“Saya sangat sibuk waktu itu,” ujar Nurman Diah mengawali pembicaraannya. “Tetapi saya tahu Bung melalui tulisan-tulisan di Majalah Topik dan Harian Merdeka, juga menulis tentang ayah saya (B.M.Diah),” tambahnya.
Pembicaraan kami setelah teman Nurman Diah datang, Zulkifli, semakin terasa bahwa kami juga sangat memperhatikan perkembangan negara ini, yang semakin lama semakin menjauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Konsep dasar mengapa negara ini didirikan pun sudah banyak menyimpang. Kegaduhan-kegaduhan yang kita lihat selama ini, baik oleh partai politik maupun kita sebagai warga negara, di mana kesejahteraan rakyat semakin lama semakin menjauh dari kita, dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Di usia negara ini sudah 72 tahun., kita sedikit lupa, bahwa mensejahterakan rakyat merupakan tugas utama kita. Memberikan lapangan kerja yang layak buat setiap negara, sama pentingnya dengan memberdayakan mereka agar selalu eksis sebagai generasi penerus. Lebih dari itu, keprihatinan kita juga melihat korupsi semakin meraja lela, di mana hal itu menghambat untuk mensejahterakan bangsa Indonesia, karena hanya orang-orang tertentu saja memperoleh pembagian hasil kekayaan negara itu, pun sangat meresahkan jiwa kita.
Lebih dari itu, kita juga prihatin dengan adanya manipulasi sejarah bangsa ini. Di mana yang selalu kita perdengarkan hanya data-data yang tidak otentik. Oleh karena itu generasi muda semakin bingung, kepada siapa ia hendak mencontoh suri tauladan. Kita sudah merdeka 72 tahun, tetapi mengapa dalam industri, negara-negara asing lebih berperan. Konflik di Freeport Papua yang mencuat ke permukaan, menunjukkan bahwa kita belum begitu dewasa berpolitik. Sangatlah tidak wajar, jika pembagian saham (terlepas dari benar atau tidak) tetapi dipertontonkan secara terbuka kepada rakyat Indonesia. Bagaimana perasaan rakyat kita yang kini masih hidup dalam kemiskinan, hanya untuk mencari sesuap nasi pun sulit, sementara kita dengan tidak sadar mempertontonkan pembagian saham dengan hitungan jutaan dollar?
[caption caption="Buku Aku Wartawan Merdeka (Dokumentasi)"]
Sebagai bangsa Indonesia, kita merasa prihatin.Tetapi tetap saja kita belum mampu mencapai apa yang dinamakan masyarakat adil dan makmur. Korupsi masih terus terjadi. Bangsa ini lebih dulu merdeka dari Tiongkok, tetapi Tiongkok lebih maju dari kita. Kita bisa memahami, ketika Tiongkok mau maju, yang dibertantas pertama kali adalah korupsi. Hampir setiap bulan kita mendengar hukuman mati bagi koruptor di negara itu.
Kita prihatin dengan korupsi yang terus menerus terjadi di negara kita. Lihatlah dalam kenyataan, bagaimana para pejabat yang dulunya kita anggap bersih, harus berurusan dengan KPK. Akhirnya dimasukkan dalam tahanan. Itulah sebabnya ketika International Monetery Fund (IMF) memberikan rekomendasi kepada Tiongkok bahwa mata uangnya, akan resmi menjadi mata uang internasional dan sejajar dengan dollar AS, kita sedikit trenyuh di hati ini. Karena bagaimana pun jika kita bicara IMF mengenai negara kita, sudah tentu kita bicara utang. Tidak lain dari itu.
Tentu kita masih ingat peristiwa tahun 1998, saat kita membuat Letter of Intend (LoI) dengan IMF. Kemudian dari LoI ini, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1998 tertanggal 21 Januari 1998 yang isinya menghentikan pemberian bantuan keuangan kepada PT.IPTN dan menghentikan pemberian fasilitas kredit yang dijamin pemerintah kepada PT.IPTN.
Artinya, pemerintah tidak dibenarkan, kalau mau menerima dukungan IMF, menyalurkan satu sen dollar pun kepada IPTN. Padahal IPTN itu menjadi pusat unggulan teknologi tinggi itu masih banyak memerlukan kucuran dana dari pemerintah. Waktu itu PT.IPTN berhenti beroperasi dan banyak di antara ahli-ahli pesawat kita lari mencari kerja di luar negeri.
Sekarang nampaknya industri pesawat kita mulai bangkit lagi. Hal ini dapat kita ketahui dalam beberapa berita perkembangan teknologi kita baru-baru ini. Tetapi sebagai catatan, industri pesawat kita juga harus berbenah diri. Dulu kita masih ingat bagaimana Menhankam/Panglima ABRI M.Jusuf enggan membeli pesawat buatan kita sendiri (lengkapnya baca buku Rais Abin, Panglima Pasukan PBB di Timur Tengah yang saya tulis).
Kami memiliki keprihatinan mendalam mengenai masalah ini. Ini pula yang melahirkan tekad kami untuk melakukan sesuatu secara kongkrit untuk bangsa dan negara Republik Indonesia. Kami sangat peduli dengan perkembangan yang terjadi.
Sebelum kami berpisah waktu itu, saya memberikan sebuah buku komik BM Diah kepada anak laki-lakinya BM Diah, Nurman Diah. Buku ini berdasarkan buku Buir-butir Padi B.M.Diah yang saya tulis. Berbicara tentang sekitar peranan B.M.Diah di Rumah Maeda bersama Soekarno-Hatta dan para pejuang kemerdekaan lainnya, malam hari pada 16 Agustus 1945.
Juga saya menitip salam kepada sang ibu Nurman Diah (waktu ini ibu Hera masih hidup, berusia 98 tahun), Herawati Diah. Ia sangat setia mendampingi suaminya BM Diah. Ia ikut mendirikan Koran Merdeka bersama suaminya BM Diah, di samping mendirikan dan memimpin Koran The Indonesian Observer tahun 1955 dan Majalah Keluarga.
[caption caption="B.M.Diah (Tempo.com)"]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI