Menjelang pergantian pemerintahan di Indonesia, IMF (International Monetery Fund) menyerukan agar Reformasi yang sudah berjalan terus dilanjutkan.
Menurut saya hal ini wajar-wajar saja, karena lembaga donor ini merasa berhasil mempengaruhi Indonesia di tahun 1998. Saat itu perekonomian Indonesia berada dalam kondisi terancam ke jurang keterpurukan. IMF selaku lembaga donor terkemuka internasional yang berpengaruh kuat terhadap negara atau lembaga donor lainnya seperti World Bank, CGI dan Paris Club, IMF dipandang sebagai penyelamat ekonomi Indonesia.
Tetapi apakah demikian? Bukankah keberadaan IMF malah justru turut berperan serta memperburuk perekonomian ? Sehingga utang pemerintah Indonesia kian hari makin membumbung tinggi, padahal tidak jelas penggunaan dana hasil hutang itu. Benarkah dana pinjaman itu untuk membangun kesejahteraan rakyat atau sekadar menambah beban rakyat, karena dana menguap dikorupsi pelaksana kebijakan. Sumber kekayaan alam Indonesia pun hampir terkuras habis dan pemerintah Soeharto tidak mampu membayar cicilan hutang yang makin membumbung tinggi.
Bahkan dalam pemerintahan Gus Dur, terjadi masalah karena pencairan bantuan 400 juta dolar AS tertunda dan dianggap pada waktu itu pemerintah dipandang belum memenuhi Letter of Intens (LoI) IMF.
Semua orang tentu masih ingat ketika melihat foto Direktur IMF Michael Camdessu yang terpampang di halaman ini. Lihatlah Presiden RI, Soeharto pada 15 Januari 1998 itu di Jakarta sedang menandatangani LoI, sementara Camdessu dengan pongahnya menyaksikan. Kalau ingin tahu lebih lanjut, setelah penandatangan itu pula program-program PT.Industri Pesawat Terbang Nurtanio/Nusantara (IPTN) berhenti. Kenapa? Karena di dalam perjanjian itu disebutkan bahwa dana anggaran dan non anggaran yang digunakan untuk program IPTN harus dihentikan. Pemerintah mempertegas dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No.3 Tahun 1998 tertanggal 21 Januari 1998. Isinya, menghentikan pemberian bantuan keuangan kepada PT.IPTN.
Itulah sebabnya ketika Pesawat Kepresidenan RI Boeing Business Jet 2 tiba di tanah air yang dibeli langsung dari Amerika Serikat dengan nilai sekitar Rp.847 miliar, saya terdiam sejenak. Saya belum bangga, karena pesawat itu bukan produksi dalam negeri sebagaimana Pesawat Kepresidenan AS dan Rusia. Saya akan bangga jika pesawat itu tidak dibeli, tetapi diproduksi di dalam negeri. Hal ini sudah kita buktikan, meskipun masih sebatas assembling. Produksi pesawat kita berantakan sejak 1998, karena dananya tidak ada.
[caption id="attachment_331401" align="aligncenter" width="208" caption="Lihatlah sikap Direktur IMF di hadapan Presiden RI (Foto: Antara)"][/caption]
Jika sekarang IMF mengatakan “Reformasi” jalan terus, bukanlah sama dengan menguras pundi-pundi kekayaan kita untuk terus mengeluarkan biaya demi mensejahterakan produksi-produksi mereka. Bahkan sekarang Indonesia berharap agar kita kembali ke UUD 1945 yang asli. Reformasi yang kita lakukan “kebablasan.” Perlu dipikirkan kembali sudah saatnya kita meninggalkan ketergantungan berlebihan dengan negara lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H