Idris Sardi, seorang pemain biola Indonesia terkenal itu telah mendahului kita. Ia meninggal dunia di Cimanggis, Depok, 28 April 2014. Lahir di Jakarta 7 Juni 1938, anak dari pemain biola Orkes RRI Studio Jakarta, Sardi
Idris Sardi sudah mengenal biola di usia enam tahun. Di usia 10 tahun sudah memperoleh sambutan hangat pada pemunculannya yang pertama di Yogyakarta tahun 1949. Ia dikatakan sebagai anak ajaib untuk biola di Indonesia, karena di usia muda sekali sudah lincah bermain biola.
Ada yang mengatakan, dunia musik klasik Idris Sardi tidak mampu dikembangkannya di tanah airnya sendiri, Indonesia, karena kurangnya pengembangan kualitas kehidupan musik di Indonesia.
Salah seorang yang sangat berduka sekali dengan kepergian maestro biola Idris Sardi ini adalah muridnya, Maylaffayza (37). Ia menganggap Idris Sardi sebagai guru musik sekaligus guru kehidupannya. Sebagaimana telah diterbitkan berbagai media, Maylaffayza sengaja menulis surat terbuka di Facebooknya dalam bahasa Inggris atas kepergian sang guru:
Terjemahannya sebagaimana Harian Kompas, 5 Mei 2014 menulisnya:
“Terima kasih untuk semua pengetahuan yang Om Idris berikan kepada saya, yang membuat jalan bagi saya. Om Idris sudah mengangkat bendera, berjuang dan membuat saya sebagai pejuang musik. Pejuang seni, engkau tetap hidup di hati saya. Dalam semangat yang membara, saya lanjutkan perjalananmu.”
Maylaffayza bernama lengkap Maylaffayza Permata Fitri Wiguna. Ia lahir di Jakarta, 10 Juli 1976. Sering dipanggil Maylaf atau Fayza atau cukup Fay saja. Iaadalah salah satu musikus muda Indonesia yang terkenal akan kepiawaiannya dalam memainkan biola.
Sama halnya dengan Idris Sardi, Maylaf memulai karier musiknya ketika mulai belajar alat musik sejak kecil. Umur 9 tahun. Sebelum berguru kepada Idris Sardi, ia memiliki beberapa guru musik seperti Elfa Seciora, Bertha, Catharina Leimena hingga Ivonne Atmojo. Ia kemudian diajari langsung oleh Idris Sardi. Gaya permainan dan jenis musik yang Maylaffayza mainkan pun bernuansa modern dan dinamis.
Tahun 2000, Maylaf mulai terjun ke dunia hiburan sebagai violis profesional. Setelah delapan tahun, Maylaf yang lahir di Jakarta 10 Juli 1976 itu baru meluncurkan album perdananya di tahun 2008. Album yang judulnya diambil dari nama depannya itu, menekankan bahwa instrumen biola merupakan instrument yang modern, segar, berani dan inovatif. Suatu instrumen yang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Permainan biola dari biola elektriknya yang upbeat dikombinasikan dengan irama hip hop dan R&B tertuang di lima lagu instrumental.
Meski cenderung dipengaruhi musik-musik Barat, Maylaf tetap menyisipkan budaya Indonesia. Lagu daerah Aceh, Bungong Jeumpa misalnya, dia beri sentuhan modern dengan nuansa African-American rhytm seperti hip hop yang kental dengan bassline, drums, dan handclap yang khas.
[caption id="attachment_335178" align="aligncenter" width="614" caption="Maylaffaiza (Kiri), Saya (Tengah) dan Yusron Ihza (Kanan)/FOTO: Irwan A.Rachman"][/caption]
Sama dengan para pengamat musik lainnya, dalam pandangan Maylaf, musisi Indonesia belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Itu disebabkan daya tawar yang lemah sehingga musisi sulit berkembang, apalagi memiliki karir berkelanjutan. "Di industri musik masih minim etika kerja serta integritas,” ujarnya.
Saya pertamakali mengenal Maylaf di acara Hari Buku Dunia, Auditorium Museum Bank Mandiri, Jakarta pada tahun 2009. Ia rupanya menjadi utusan khusus di acara tersebut. Sejak kecil ternyata, Maylaf gemar membaca. Tanpa buku katanya mana mungkin kita bisa menguasai dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H