Bulan April selalu diperingati sebagai "bulan neraka," karena pada tanggal 7 April 1975, rejim Pol Pot dukungan Republik Rakyat Tiongkok melakukan pembantaian besar-besaran terhadap 3 juta jiwa rakyat Kamboja, termasuk lima orang anak dan keempat belas cucu Pangeran Norodom Sihanouk.
Peristiwa ini sangat mengerikan dan dampaknya sampai sekarang masih terasa. Mereka menyebutnya sebagai hari kelabu dalam sejarah Kamboja. Mereka masih ingat ketika pagi hari tersebut, pasukan Khmer Merah pimpinan Pol Pot dengan berpakaian hitam-hitam berkeliling kota dengan sebuah jip buatan RRT. Melalui pengeras suara terdengar teriakan:"Kosongkan kota atau ditembak mati."
Dengan mata mengantuk dan hampir tidak percaya, semua penduduk tanpa kecuali baik itu laki-laki, perempuan, anak-anak, maupun orang tua, berduyun-duyun meninggalkan kota. Semuanya bergerak menuju arah yang sudah ditentukan oleh tentara Khmer Merah. Bagi siapa pun yang menentang langsung ditembak di tempat.
Akhirnya ibu kota Phnom Penh yang semula ramai, tiba-tiba hening dan berubah menjadi kota mati. Jalan-jalan lengang karena penduduknya dipaksa meninggalkan kota. Peredaran uang menjadi macet.Hubungan komunikasi terputus, dan kantor-kantor pos tidak berfungsi. Lampu lalu lintas padam.Pompa bensin tutup. Tempat penginapan mengalami hal yang sama. Hanya satu buah hotel yang boleh dibuka, sekedar menampung sementara orang asing, yaitu namanya Hotel Monorom.
Dalam tempo tiga minggu, semua penduduk betul-betul sudah banyak meninggalkan kota. Gagasan Pol Pot adalah ingin membentuk pemerintahan tanpa banyak penduduk. Cukup satu juta orang asal setia sampai ke tulang sumsum.Juga tanpa memerlukan pusat-pusat industri, tanpa teknologi dan semua penduduk dikerahkan ke desa menjalankan pekerjaan pertanian secara rodi. Pusat kekuatan ada di desa dan bukannya di kota. Menurut Pol Pot, tidak perlu sejahtera, asal patuh dan taat kepada satu komando. Bagi siapa yang tidak bermanfaat atau sengaja menganggu pemerintahan, langsung dibantai atau dibuang begitu saja.
Meski tidak begitu lama Pol Pot berkuasa, tetapi luka mendalam rakyat Kamboja masih terasa sampai sekarang. Apalagi kekejaman Khmer Merah di Kamboja kembali diungkap di Pengadilan Kamboja. Rakyat Kamboja seakan-akan dibawa ke masa lalu ketika Khmer Merah berkuasa.
Adalah Meas Sokha (55), Rabu, 21 Januari 2015 memaparkan kembali tindakan kejam, termasuk praktik kanibalisme, yang dilakukan personel Khmer Merah di penjara.
Meas berbicara sebagai saksi atas terdakwa Nuon Chea (88), tokoh Khmer Merah yang dikenal sebagai "Saudara Nomor Dua," dan mantan kepala negara Khieu Samphan (83). Mereka diadili atas tuduhan kejahatan genosida terhadap 100.000 hingga 500.000 warga etnis minoritas Muslim Cham serta 20.000 orang Vietnam di Kamboja saat itu. Demikian ujar Kantor Berita Perancis, AFP.
Meas pernah mendekam di sebuah penjara yang didirikan Khmer Merah, yakni penjara Kraing Ta Chan, di Provinsi Takeo, sekitar 80 kilometer selatan ibu kota Phnom Penh. "Saat sedang mengurus kerbau dan sapi," ujarnya " ia melihat sendiri bagaimana para tahanan dibunuh. Kebanyakan dengan cara dipenggal. Dua penjaga (Khmer Merah) memegang tahanan, sementara seorang lagi mengeksekusinya,"ujar Meas.
Ia mengungkapkan, saat mengeksekusi tahanan, para penjaga menyetel musik keras-keras untuk menyamarkan jeritan orang yang dibunuh. Meas ketika itu menjadi tahanan bersama 11 anggota keluarganya. Menurut Meas, praktiknya kanibalisme dilakukan penjaga penjara. Terdapat pula anak-anak dan bayi.
Kekejaman rezim Khmer Merah di Kamboja berlangsung pada 1975-1979. Sedikitnya 2 juta rakyat negara itu tewas dalam periode kelam itu.Agustus tahun lalu, Nuon Chea dan Khieu Samphan divonis hukuman seumur hidup setelah menjalani 2 tahun persidangan untuk kasus kekejaman yang berbeda. Mereka tercatat menjadi tokoh Khmer Merah pertama yang dijatuhi hukuman oleh pengadilan yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa.