Menginjak usia kepala dua. Usia yang rentan sekali dengan pengaruh-pengaruh yang kadang menguntungkan kadang merugikan. Usia banyak tuntutan-tuntutan, seperti tuntutan segera lulus, tuntutan segera bekerja, termasuk tuntutan untuk melepas masa lajang. Maka dari itu, banyak orang yang menganggap rentan usia di angka kepala dua sebagai Quarter life Crisis.
Sebab biasanya di usia ini krisis kepercayaan diri menghadapai awal mula tantangan hidup dimulai. Ada yang tidak percaya diri ketika ingin melamar kekasih karena ongkos kawinan hari ini melambung tinggi. Menjadi mahal. Sebab, belum ada pemasukan yang pasti.
Pemasukan belum pasti karena di usia dewasa tanggung ini kebanyakan masih galau dengan pekerjaan apa yang akan dia permanenkan kemudian hari.
Yang sangat krisis adalah, mereka yang di usia ini tapi masih belum segera lulus kuliah. Dikatakan bisa hidup sendiri juga belum, tapi segan mau minta uang jajan ke orang tua. Ya, tuntutan segera lulus aja masih belum bisa terpenuhi, apalagi tuntutan segera kawin, hadeuh.
Di masa-masa ini, biasanya mereka berada pada titik malas ditanyai urusan asmara, sensitif terhadap pembicaraan mengenai wisuda, tapi disuruh segera lulus: jawabnya cuma, "ya....ya.....ya"
Namun perkara itu semua adalah hal biasa. semua orang mapan yang masih hidup sekarang tentu pernah mengalami quarter life crisis. Termasuk anak sultan sekali pun, di titik apa pun.
Yang menarik di masa-masa ini adalah, ada saja rumput liar yang tumbuh seiring dengan padi yang tumbuh. Maksudnya, di tengah kondisi seperti ini, ada saja teman yang menjadi racun penghambat proses berkembang. Dalam setiap momen dan setiap pergaulan.
Aneh-aneh saja hambatan yang kadang enggk sadar mereka lakukan ke kita. Paradoksnya, di beberapa kesempatan justru kita yang jadi "toxic-friend" bagi teman kita. Disadari atau tidak, hambatan itu muncul justru menggapai tujuan yang ingin kita capai.
Contoh, lagi asiknya ngerjain skripsi, eh teman datang ngajak hang out. Lagi serius nabung untuk keperluan A, misalnya, ada saja yang ngajak jalan-jalan. Habislah uang tabungan itu. Ke semua itu kadang susah sekali ditolak karena (mungkin) simbiosis pertemanan yang kuat.
Bicara soal "toxic-friend" ini, saya teringat dengan persahabatan antara Spongebob, Squidward, dan Patrick, dalam serial kartun tersohor itu. Coba kalian lihat, betapa toxic-nya Spongebob dan Patrick bagi Squidward.
Ketika kalian melihat keisengan mereka mengganggu Squidward yang sedang berlatih klarinet, kalian mungkin akan kesal dan marah apabila menjadi Squidward. Namun dia selalu memiliki banyak cara untuk menghindari mereka tanpa membuat mereka sakit hati.
Pun juga dengan episode di mana Patrick selalu mengganggu Spongebob saat bekerja. Walaupun kadang sedikit tergoda, namun Spongebob akan selalu sadar dengan tanggung jawab pekerjaannya. Meskipun menurut beberapa orang analogi ini tidak bisa direlasikan dengan kehidupan nyata, namun kira - kira seperti itulah gambaran toxic-friend yang dimaksud orang-orang.
Jadi menurut hemat saya, di usia yang menginjak kepala dua, seyogianya jangan memilih-milih teman. Jangan membatasi lingkaran pertemanan hanya sebatas mereka yang kamu anggap menguntungkan. Karena seperti yang saya sampaikan di atas, siapapun akan menjadi toxic pada waktunya.
Perbanyak lah lingkar pertemanan. Menghadapi quarter life crisis, kamu butuh pandangan dari banyak temanmu. Intinya, jangan terlalu kejam untuk menilai seseorang adalah toxic.
Saya berkali-kali memang menemukan beberapa yang seperti itu. Namun harusnya bukan malah menjauhi, justru kamulah yang harus mempertebal anti-toxic dalam tubuhmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H