Mohon tunggu...
Daryn Cahyono
Daryn Cahyono Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bumbu-bumbu Orde Baru

21 Februari 2018   14:09 Diperbarui: 21 Februari 2018   14:20 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi bagian dari sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan melatakkannya sebagai salah satu pondasi negara adalah kesempatan besar bagi setiap warga negara yang tak ternilai harganya. Indonesia, contoh sebuah negara yang menanamkan paham-paham demokrasi dalam salah satu sila dasar negaranya. Sila keempat dari Pancasila yang belambang kepala banteng itu berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan", menjadi dasar bertumbuhnya peraturan-peraturan di Indonesia yang mengedepankan nilai demokrasi. 

Namun, dasar-dasar yang sebenarnya telah menjadi pakem sejak bangsa ini berdiri, sering kali dicederai. Peraturan peraturan perundang undangan yang seharusnya berada di bawah Pancasila ,sumber dari segala sumber hukum,  banyak yang melenceng karena ditunggangi oleh kepentingan kepentingan tertentu tanpa mengedepankan aspirasi masyarakat.

UU MD3

Senin (14/2/2018) lalu, UU no 17 tahun 2014 mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) akhirnya disahkan dalam sidang paripurna DPR. Pengesahan UU MD3 yang kontroversial ini menuai banyak kritik dari banyak kalangan termasuk warga sipil. Alih-alih mendapat dukungan, UU MD3 justru memperoleh penolakan dari warganet sebanyak 117.000 tanda tangan dalam petisi "Tolak Revisi UU MD3, DPR Tidak Boleh Mempidanakan Kritik" melalui situs  change.org/tolakuumd3 dalam waktu 24 jam sejak petisi tersebut diluncurkan.

Sebuah hal yang sangat lumrah ketika peraturan yang disahkan lembaga pemerintahan menuai pro dan kontra. Pemikiran dan pertimbangan mengenai baik dan buruknya sebuah peraturan perundang-undangan pastilah sangat beragam, apalagi pemikiran-pemikiran itu muncul dari sekitar dua ratus lima puluh juta rakyat Indonesia. Hal ini terjadi pula dalam pengesahan revisi UU MD3. Untuk itu, kita perlu mendalami, apa yang sebenarnya direvisi dalam UU MD3 yang menimbulkan kehebohan.

Salah satu poin yang ditambahkan dalam UU MD3 adalah pasal 249 ayat 1 huruf J yang berbunyi "DPD berwenang dan bertugas melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah (raperdda) dan peraturan daerah (perda)." Dampak dari pasal ini dinilai mampu menimbulkan benturan antara tugas DPD dengan kewenangan jajaran eksekutif yang diatur dalam peraturan daerah (perda). 

Konteks kewenangan dari DPD ini harus dijelaskan secara gamblang. Jika kewenangan DPD seecara rinci, sama dengan kewenangan pemerintah eksekutif dan MA, maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan lembaga eksekutif di daerah. Dengan munculnya peraturan ini, bukannya memperbaiki sistem kerja di Indonesia, malah menimbulkan ketidak efektifan kerja antara lembaga pusat dan daerah.

Pasal lain yang dianggap kontroversial dan menuai kecaman publik adalah Pasal 122 huruf K UU MD3 disebutkan bahwa DPR bisa mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Pasal 122 huruf K ditakutkan dapat memunculkan kediktatoran dari DPR, dimana pasal seperti ini sudah tidak relevan lagi digunakan di zaman demokrasi seperti saat ini. Pasal seperti ini lebih cocok digunakan oleh raja atau zaman feodal. Raja membutuhkan pasal-pasal seperti ini untuk menopang kewibawaan dan membuat masyarakat takut untuk mengkritik kinerja mereka yang 'bobrok'. 

Apakah dengan pasal ini, DPR berharap dapat bersembunyi dari kritikan dan bebas melakukan korupsi?. Pertanyaan berikutnya yang muncul dari munculnya pasal tersebut adalah, Siapakah yang paling berperan dalam perendahan kehormatan DPR? Jawaban yang paling tepat adalah anggota DPR itu sendiri. Anggota anggota DPR yang mangkir dari undangan KPK, anggota DPR yang tidur saat sidang, dan perilaku memalukan lainnya yang menurunkan kehormatan lembaga DPR. Bukti lain yang dapat dilihat, dari survey kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan, 

DPR menduduki posisi terendah, berada jauh dari TNI, KPK, Lembaga Kepresidenan dan Polri. Bahkan dibawah Pengadilan dan Kejaksaan. Jadi, berkaca dari fakta tersbut, yang paling utama dan pertama yang dapat dijerat pasal tersebut adalah anggota-anggota DPR itu sendiri.

Pasal selanjutnya yang mengalami perubahan dan menuai kontroversi adalah pasal 245 yang  dikatakan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Pasal ini memerluas cakupan imunitas bagi DPR yang telah lebih dahulu memiliki hak untuk  tidak dapat dituntut di pengadilan karena pernyataan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan, maupun tulisan dalam rapat-rapat DPR. Pemberian hak imunitas secara menyeluruh ini akan berpotensi menyulitkan lembaga-lembaga penegak hukum untuk menindak 'tikus-tikus licik' yang haus akan uang rakyat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun