Mohon tunggu...
Daryani El Tersanaei
Daryani El Tersanaei Mohon Tunggu... Dosen - Pencinta Ilmu dan Kebijaksanaan

Direktur Eksekutif Parameter Nusantara (PARA). Pengajar di FISIP IISIP Jakarta dan beberapa PTS lain di Ibu Kota. Mantan Ketua Umum ISKC (Ikatan Santri Se-eks Karesidenan Cirebon) Pon.Pest. Bahrul 'Ulum Tambakberas, Jombang periode 1994-1995, Ketua Presidium SOMASI (Solidaritas Mahasiswa Seluruh Indramayu) periode 1999-2000, Ketua Umum FKPM/KPM (Forum Komunikasi Pelajar dan Mahasiswa/Keluarga Pelajar dan Mahasiswa) Jawa Barat-D.I. Yogyakarta periode 2000-2002. Ketua PC ISNU (Ikatan Sarjana Nahdlatul 'Ulama) Kabupaten Indramayu masa khidmat 2013-2017.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Visi-Misi Jokowi-JK di Balik Nomor 2

7 Juni 2014   21:58 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:48 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam acara pengundian dan penetapan nomor urut pasangan Capres dan Cawapres yang diselenggarakan KPU pada 1 Juni2014 di gedung KPU Jl. Imam Bonjol no. 29 Jakarta,Jokowi memberikan sambutan atau pidato sebagai Capres yang mendapat nomor urut 2. Dalam bagian terakhir pidato singkat berdurasi 1 menit 42 detik itu, Jokowi mengatakan:

“ Nomor 2 atau 2 adalah simbol keseimbangan, ‘simbol keseimbangan’. Ada Capres, ada Cawapres. Ada mata kanan, ada mata kiri. Ada telinga kanan, ada telinga kiri. Ada tangan kanan, juga ada tangan kiri. Semuanya harmoni dalam sebuah keseimbangan. Dan, untuk menuju kepada Indonesia yang harmoni, yang penuh keseimbangan, pilihlah nomor dua.”

7 (tujuh) ungkapan kalimat sederhana tersebut, sejatinya merefleksikan visi-misi pasangan Jokowi-JK dalam membangun Indonesia bila kelak diberi mandat rakyat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Dalam dokumen visi-misi Jokowi-JK yang diserahkan ke KPU, dijelaskan visi-nya adalah: “TERWUJUDNYA INDONESIA YANG BERDAULAT, MANDIRI DAN BERKEPRIBADIAN BERLANDASKAN GOTONG ROYONG”. Kemudian, dijabarkan dalam 7 (tujuh) misi sebagai berikut: (1) Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumberdaya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan; (2) mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis berlandaskan Negara hukum; (3) mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim; (4) mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera; (5) mewujudkan bangsa yang berdaya-saing; (6) mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional; (7) mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.

Kata “harmoni” dan/atau“keseimbangan” digunakan Jokowi untuk memberi koridor bagi visi dan 7 misi untuk membangun Indonesia dalam lima tahun ke depan bila dipercaya rakyat menjadi Presiden RI ke-7 kelak. Artinya, capaian visi dan misi tersebut di atas harus bermakna harmoni dan penuh keseimbangan. Kata-kata lain yang memiliki pengertian serupa atau terkait dengan “harmoni” dan “keseimbangan” di antaranya yaitu rukun, guyub, selaras, sama, rata, sejajar, dan proporsional. Dalam tradisi NU (Nahdlatul ‘Ulama) kata “keseimbangan” dapat disamakan dengan istilah “tawazun”, seimbang dalam segala hal.

Tri Sakti: Sebuah Tafsir

Dalam bidang politik,“harmoni” dan “keseimbangan” bermakna bahwa kedaulatan negara dan bangsa yang dicapai, bukan kedaulatan yang mengucilkan Indonesia dari pergaulan Internasional. Akan tetapi, kedaulatan yang mensejajarkan Indonesia dengan negara dan bangsa lain yang lebih dulu maju. Dengan itu, Indonesia dapat menjalankan politik luar negeri bebas-aktif dengan baik dan berperan efektif di kancah internasional untuk turut serta mewujudkan perdamaian dunia, dunia yang harmoni.

Selain itu, politik hukum diarahkan pada terwujudnya prinsip equality before the law, kesamaan tiap warga negara di hadapan hukum, secara nyata. Hukum di Indonesia tidak boleh tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Hukum harus menjadi pegangan rakyat dalam mencari keadilan, dan menyejahterakan. Hukum di Indonesia harus mencerminkan martabat bangsa Indonesia di hadapan dunia sebagai bangsa yang terhormat dan beradab. Untuk itu, penghormatan dan perlindungan HAM (Hak-hak Asasi Manusia) serta perwujudan nilai-nilai demokrasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia mendapat tempat dalam pemerintahan Jokowi-JK, nanti.

Dalam hal kemandirian ekonomi, “harmoni” dan “keseimbangan” dapat dimaknai bahwa kemandirian ekonomi Indonesia tidak berarti bahwa Indonesia menutup diri dari perdagangan Internasional dan investasi asing. Perdagangan internasional yang menguntungkan Indonesia merupakan dambaan. Neraca perdagangan Indonesia yang mengalami defisit, misalnya dengan RRC, perlu diseimbangkan, dalam arti neracanya seimbang atau surplus bagi Indonesia.

Sementara investasi asing diperkenankan sebatas pada bidang-bidang yang tidak dapat digarap oleh BUMN kita dan investor lokal. Prinsipnya, utamakan kemampuan dalam negeri. Investor asing hanya sebagai pelengkap. Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini prinsip yang jadi pegangan untuk menyeimbangkan pendulum penguasaan dan pemanfaatan SDA (Sumber Daya Alam) yang saat ini condong pada kepentingan asing. Dalam hal ini, kontrak-kontrak karya yang merugikan Indonesia harus dilakukan renegosiasi.

Selain itu, kemandirian ekonomi Indonesia juga berdimensi, pertama, penambahan fokus potensi ekonomi pada sektor kelautan dan sumberdaya maritim, dan kedua, pemerataan.Fokus penggarapan sektor kelautan dan sumberdaya maritim diperlukan mengingat selama ini cenderung terabaikan, karena lebih fokus pada daratan. Dengan itu, terwujud keseimbangan kebijakan pemanfaatan potensi ekonomi Indonesia, yang berdampak signifikan pada kekayaan negara dan kesejahteraan rakyat. Pada saat itulah, kualitas hidup manusia Indonesia meningkat, dan menjadi bangsa yang berdaya-saing.

Adapun dimensi pemerataan meniscayakan keberhasilan pembangunan ekonomi itu dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Kesenjangan sosial harus terus dikurangi, agar tercipta keadilan sosial dan terwujudnya masyarakat Indonesia yang harmoni.

Dalam bidang kebudayaan, “harmoni” dan “keseimbangan’’ bermakna bahwa masyarakat Indonesia yang majemuk, beraneka ragam suku, adat dan budaya itu harus menjadi entitas pluralisme yang harmoni. Dalam hal ini toleransi, kepekaan dan solidaritas sosial, serta gotong royong merupakan nilai-nilai yang harus diinternalisasi—lewat beragam jalur pendidikan—menjadi jati diri bangsa Indonesia. Dengan cara itulah berkepribadian dalam kebudayaan dapat terwujud.

Bila mendambakan Indonesia yang harmoni, penuh keseimbangan sebagaimana uraian “tafsir Tri Sakti” tersebut di atas, pilihlah pasangan Jokowi-JK, nomor 2 (dua). Begitu pun sebaliknya. Terserah sidang pembaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun