Saya tidak mengikuti perkembangan diskursus atau pengadilan sosmed terhadap puisi Sukmawati Soejaro Putri. Jadi yang akan penulis sampaikan adalah hasil penelaahan penulis terhadap puisi yang kebetulan diunggah oleh teman Facebook. Penulis mencoba menangkap apa yang terkandung didalamnya (tentunya sesuai interpretasi penulis) dan setelah kita pahami gambaran yang ada penulis coba kaitkan dengan tugas kita bersama sebagai umat dakwah.
Untuk memahami bait pertama, penulis mencoba membuat parafrasenya "memang aku tidak tahu (memahami) benar keindahan syariat Islam (terkait dengan cadar), tetapi  Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah. Dimana keindahannya lebih cantik dari cadar dirimu (jika hanya untuk menutup aurat fisik (ujudmu, tanpa menutup aurat batin).
Gerai tekukan rambutnya (seluruh tampilannya yang jujur, tanpa hipokrit) itu suci sebagaimana sucinya Jilbab yang digunakan untuk menutup auratmu (kain pembungkus ujudmu). Hal ini merupakan perwujudan dari kesadara rasa, karsa, ciptanya dengan kondisi lingkungannya yang berbineka (Rasa ciptanya sangatlah beraneka. Menyatu dengan kodrat alam sekitar Jari jemarinya berbau getah hutan Peluh tersentuh angin laut)
Lihatlah ibu Indonesia ( hargailah wanita indonesia yang tidak bercadar) jangan lecehkan mereka karena mereka berbeda dengan keyakinanmu (bahwa wanita harus bercadar) sesuai syariat yang kamu yakini  (Saat penglihatanmu semakin asing) hal ini  Supaya kau dapat mengingat (memahami) Kecantikan asli dari bangsamu (yang berbineka). Oleh karena itu Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif yang diterima (welcoming) hargailah wanita wanita yang tidak bercadar . (Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia)
Penulis memahami baris baris itu sebagai "jejer" (dalam pertunjukan wayang) dimana dalang memaparkan gambaran sebuah negeri, Sukmawati mencoba memaparkan fakta, bahwa ada pihak pihak tertentu (oknum) yang menari batas tegas, tembok pemisah terhadap mereka yang bercadar, kondisi ini jelas membuat Sukma harus bersikap.
Cara cara oknum itu membuat penegasan bahwa sungguh Aku tak tahu syariat Islam (apakah seperti yang oknum oknum itu lakukan) sebab bagi Sukma apa yang diajarkan oleh orang tua kita (ibu) saat anak anaknya berselisih pasti menekankan untuk tidak saling memojokkan tetapi untuk "tetap rukun" jika itu menyangkut makanan misalnya, berbagilah itulah keindahan ajaran hidup di Indonesia
(Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok).
Ajaran ibu Indonesia yang mengajak pada kerukunan, keharmonisan tentu saja bagi Sukma terasa lebih indah dibandingkan dengan ajakan (panggilan, adzan, atau dakwah) yang justru mencoba memaksakan dan tidak menghormati mereka yang berbeda dalam mengejawantahkan syariat Islam itu sendiri  (Lebih merdu dari alunan adzan mu).
Dengan kondisi saling menghargai, saling menghormati, pada akhirnya seluruh gerak hidup kita dapat mewujud atau bernilai sebagai ibadah sebagaimana yang disyariatkan oleh Islam itu sendiri (wa maa kholaktul Jinna wal insa Illa liya' buduuji), yang dalam puisi Sukma diungkapkan dalam "Gemulai gerak tarinya adalah ibadah. Semurni irama puja kepada Illahi. Nafas doanya berpadu cipta. Helai demi helai benang tertenun.Lelehan demi lelehan damar mengalun. Canting menggores ayat ayat alam surgawi"
Pandanglah Ibu Indonesia (sekali lagi, hargai keberagaman, tegaklah kerukunan dan harmonis, sebagaimana ibu kita, orang tua kita tekankan kepada kita). Hal ini sangat penting mengingat kita semakin kehilangan jati diri dan silau dengan pemahaman pemahaman agama atau isme yang belum tentu sesuai dengan kondisi Indonesia (Saat pandanganmu semakin pudar)
Ajakan Sukmawati dengan puisinya itu adalah agar kita dapat melihat realitas bahwa keberagaman dalam beragama termasuk dalam menjalankan syariat Islam di Indonesia, sejak Islam datang dan didakwahkan di Indonesia sejak abad awal awal Islam (merujuk bukti makam Fatimah binti Maemun di Gresik), para penyeru Islam terutama para wali menggunakan akulturasi budaya sehingga hidup berdampingan secara damai, itulah sesungguhnya keindahan hidup di negeri Surabaya khatulistiwa Sukma menggambarkan "Supaya dapati kemolekan sejati dari bangsamu. Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya."
Itulah pemahaman penulis atas puisi Sukmawati, nah lantas akan hikmahnya bagi kita sebagai umat dakwah ?
Tentu kuta harus berpegang pada prinsip-prinsip yang ada pada QS. An Nahl ayat 125 perlu kita pahami (bilhikmah, mauidzoh Hasanah dan mujadalah dengan argumentasi mumpuni). Harus diakui, pengaruh globalisasi dimana berbagai pandangan dunia saling mempengaruhi, juga berlaku atau melanda aktivis aktivis dakwah republik ini.Â
Benar, Islam itu kebenarannya mutlak, namun pemahaman terhadap syariat Islam itu sendiri dapat berfariasi, tergantung banyak faktor, termasuk faktor sejarah, sosial budaya dan geografi. Pemahaman Islam di lingkungan budaya Padang pasir tentu sangat berbeda dengan pemahaman mereka yang di bagian lain, sekali lagi Islamnya satu, sumbernya saja tetapi interpretasi terhadap hadap sumber itu sangat bervariasi.
Oleh karena itu, Rasulullah sangat menyarankan untuk "berbicara dengan tingkat akal umat dakwah kita". Berdakwah memanggil ke jalan Islam dengan hal hal yang kurang membumi dimana Islam didakwahkan tentu tidak dapat dipahami. Hal seperti itulah yang faktanya masih ada pada sebagian dai-dai kita. Kondisi ini harus.menjadi introspeksi bagi kita semua apakah semakin betkembangnya perlawanan terhadap Islam di Indonesia karena dakwah kita kurang membumi ? Kurang mengena di hati ?
Sikap berani mengoreksi diri dan terus melakukan perbaikan perbaikan dakwah dalam segala aspeknya sangat diperlukan agar dakwah kita sesuai yang dituntunkan.
Itulah catatan saya terkait dengan puisi Sukmawati Soekarnon Putri, sudah barang tentu anda pun bebas menginterpretasikan atau memahami puisi itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H