Para orang tua, atau paling tidak yang seimuran dengan penulis, pasti sangat akrab dengan lagu tentang becak berikut :
"Becak becak
Tolong bawa saya
Saya mau tamasya
berkliling kliling kota
sambil melihat-lihat
pemandangan yang ada
Lihat becakku lari
seakan tak berhenti
becak-becang tolong hati hati"
Dan saat Remaja mengenal betapa gigihnya perjuangan abang becak, yang dikisahkan oleh Bimbo
"Abang becak-abang becak ditengah jalan
Putar-putar putara Carai mutan untuk mencari makan
Dari pagi hingga mentari terbenam..." dst.
Dua lagi di atas menunjukan paling tidak ada dua posisi becak dalam kehidupan kota jakarta, yakni sebagai sarana transportasi termasuk transportasi wisata, dan ke dua sebagai sandaran hidup untuk mencari nafkah bagi kelompok masyarakat tertentu.
Dua fungsi tersebut telah berahir dengan program Jakarta bebas becak beberapa tahun lalu tepatnya sejak ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda) DKI No 11/1988 tentang pelarangan becak beroperasi di Ibu Kota. Setelah tepat 20 tahun perda itu, mencuat Kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk "menghudupkan" kembali becak di Jakarta, kembali mendapat perlawanan emosional dari para pemuja "kelancaran, kemewahan dan kehidupan serba wah". Alasan utama yang nampak sekali emosional adalah kambing hitam "becak penyebab kemacetan" sama seperti alasan untuk menancapkan "Jakarta Bebas Becak" dulu.
Sudah menjadi karakteristik has para pejuang neoliberalisme egoisme adalah keringan dunia ini diatur agar akselerasi penumpukan modal untuk mencapai kepuasannya bisa bergerak cepat. Semua penghalang harus disingkirkan bagaimanapun alasan dan caranya. Secara fisik dunia ini harus nampak kinclong dan tak ada kerikil segelintir pun di ruang gerak mereka. Pembongkaran, penggusuran bahkan pelenyapan apapun harus dilakukan, demi tatanan yang mereka inginkan. Bagi mereka deretan kotak kotak yang berbatas rigid adalah keindahan sesungguhnya, dibanding tetintegradinya berbagai bentuk, warna, dan gado gado kehidupan yang sejatinya adalah keniscayaan.
Oleh karena itu sangat wajar jika perilaku mereka setiap melihat hal yang tidak seragam, ada ketidak nyamanan, katakanlah crowded, satu kata yang dianggap solusi adalah "Bongkar", "Gusur" atau lenyap kan. Sebagai hasil proses berfikir instans yang dilandasi pandangan kacamata kuda, narrow vission akan pelangi kehidupan yang harmoni dan indah. Dengan paradigma demikian peluang peluang untuk lahirnya kesepakatan bersama atas musyawarah untuk mufakat sebagai landasan bergerak bersama buru buru disingkirkan, yang ditegakkan adalah mekanisme hukum rimba dengan andalan kekuasaan.
Ukuran kemajuan dari masyarakat eksklusif dengan hegemoni hidup serba cepat dan instant ini terletak apad jalan-jalan yang mulus dan lancar tanpa hambatan, kota-kota yang tertata rigid dan dan penuh kotak-kotak. Dan akan nampak disorot sebagai kemunduran jika ada bauran masyarakat yang mungkin terasa akan menghambar perjalanan hidup mereka, ada ide-ide yang ingin merobohlan dinding-dindingb pembatas kehidupan sosial.Â
Oleh karena itu sangat wajar ketika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang sejak awal ingin menjadikan Jakarta sebagai kota bersama, dengan konsekuensi harus memberi peluang kepada semua komponen masuarakat untuk dapat berusaha, akan selalu mendapatakan perlawanan dari mereka yang tidak menghendakinya termasuk kebijakan Anies Baswedan untuk menghidupkan kembali becak di Jakarta.