Dengan uraian di atas, penulis sungguh sangat heran, mengapa justru dari aktivis-aktivis muslim, dan partai-partai muslim yang mendorog pemutaran film yang telah dihentikan oleh para reformis mengingat "lain di film dan lain di realitas" saat berkuasa dari sang tokoh yang diherokan dalam film Penghianatan G30S/PKI itu. Sangat naif jika para aktivis partai itu hanya melihat satu sisi dari filmi tersebut, yakni sisi pengganyangan PKI yang sesungguhnya hanyalah bagian dari propaganda sang Rezim untuk "meluluhkan hati" kaum muslimin Indonesia, yang bagai kue bika itu.Â
Oleh karena itu, pemnulis sangat sepakat, untuk kewaspadaan kita terhadap penghianatan PKI dengan komunismenya, dibuat film baru yang obyektif kesejarahannya, bagus dari segi artistik dan teknologinya, juga dari segi pedagogiknya, jika akan dibuat untuk semua umur. Dan tidak kalah pentingnya adalah suasana niat kita yang ingin meluruskan sejarah, untuk pembelajaran sejarah, bukan melanggengkan "Singosaren Syndrome" spirit balas dendam atas dinasti sebelumnya seperti yang tetjadi di kerajaan Singasari, dendam menurun antara  dinasti Tunggul Ametung dan ke Arok. Meskipun demikian kita harus siap dengan apa yang disampaikan oleh dedy Mizwar, di buat baru pun akan menuai kontroversi!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H