Mohon tunggu...
Darwono Guru Kita
Darwono Guru Kita Mohon Tunggu... profesional -

**************************************** \r\n DARWONO, ALUMNI PONDOK PESANTREN BUDI MULIA , FKH UGM, MANTAN AKTIVIS HMI, LEMBAGA DAKWAH KAMPUS JAMA'AH SHALAHUDDIN UGM, KPMDB, KAPPEMAJA dll *****************************************\r\n\r\n\r\n\r\n\r\nPemikiran di www.theholisticleadership.blogspot.com\r\n\r\nJejak aktivitas di youtube.com/doitsoteam. \r\n\r\n\r\n*****************************************\r\n\r\nSaat ini bekerja sebagai Pendidik, Penulis, Motivator/Trainer Nasional dan relawan Pengembangan Masyarakat serta Penggerak Penyembuhan Terpadu dan Cerdas Politik Untuk Indonesia Lebih baik\r\n*****************************************

Selanjutnya

Tutup

Politik

Om Telolet Om dan Interpretasi Mesumnya

26 Desember 2016   10:16 Diperbarui: 27 Desember 2016   09:16 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu gejala bahasa adaah apa yang disebut sebagai onomatope. Onomatope berasal  dari Bahasa Yunani ονοματοποιία yang berarti  kata atau sekelompok kata yang menirukan bunyi-bunyi dari sumber yang digambarkannya. Konsep ini berupa sintesis dari kata Yunani όνομα (onoma = nama) dan ποιέω (poieō, = "saya buat" atau "saya lakukan") sehingga artinya adalah "pembuatan nama" atau "menamai sebagaimana bunyinya". Bunyi-bunyi ini mecakup antara lain suara hewan, suara-suara lain, tetapi juga suara-suara manusia yang bukan merupakan kata, seperti suara orang tertawa.

Saat ini ono matope suara klakson bis malam jarak jauh "tolelet" yang dirangkum dengan panggilan akrab pada sang pengemudinya "om" dan terangkai menjadi "om tolelet om" menjadi viral tidak hanya pada tingkat lokal namun menjadi viral mondial. Bahkan menjadi inspirasi bagi musikus Norwegia yang populer dengan lagu berjudul "Nasi Padang" mengumandangkan dendang "Om Tolelet Om".

Lain halnya onomatope bunyi klakson (horn) mobil sewaktu penulus TK yang dinyanyikan. waktu itu anomatope horn disuarakan dengan " dodilibret". Kami menyanyikan anomatobe itu dengan potongan lirik sebagai berikut :

Dodoli dodolubret swara mobilku
Dibuat dari kareg warnanya biru

Dulu horn mobil terbuat dari karet berwarns biru (mungkin sekedar untuk rima, karena yang saya perhatikan justru berwarna hitam) seperti yang terdapat pada mobil pabrik gula yang dikendarai ayah (ayah sebagai pengemudi di Pabrik Gula) dan jika ayah memanggil penulis untuk mencuci mobil itu pada sore hari sebelum mobil masuk garasi ayah membunyikan horn mobil dari jalan tang menuju sungai. Sebenarnya sependengaran saya bunyinya tidak "dodoli dodolibret".

Fonetik Dodolibret dengan Telolet jelas berbeda, namun demikian dalam hal onomatope "penggambaran" suara itu biasa berbeda-beda, sebagai misal, di Jawa suara jago (ayam jantan) diungkapkan dengan kata "kukutuyuk", sehingga ada semacam parikan "kukukuruyuk begitulah bunyinya, kakinya bertanduk hewan apa namanya". Namun suara ayam jantan di daerah pesundan diungkapkan dengan "kong-ko-rongok’. Di negara tetangga Philipina, diungkapkan sebagai "tik tila ok", di Belanda sebagai "kukeleku" dan di Inggris ‘cock-a-doodle-doo’ sedang dalam bahasa dunia lainnya antara lain ‘kikeriki’ (Jerman), ‘quiquiriquí (Spanyol), ‘cucurigu’ (Rumania dan Bulgaria), ‘chicchirichi’ (Italia), ‘gue-gue’ (China), ‘kou-kou-kou-kou’ (Jepang), ‘kou-ka-re-kou’ (Rusia).

Meski dari sumber yang sama, yakni suara ayam jantan, kita ambil yang paling satu sesies Galus galus bankiva, ayam jantan Jawa dan Sunda onomatopenya berbeda. Pada hal jika saya sebagai orang Jawa kebetulan berada di Priangan dan ada ayam Jantan berkokok, pasti saya mengatakan berkukuruyuk, tetapi teman yang beretnis Sunda akan mengatakan "kong-korrongok". dimanakah bisa terjadi penggambarab yang berbeda. Apabila alat indra manusia bekerja secara mekanis belaka, seperti selama ini kita pelajari, misalnya sebagai alat audio belaka, maka apa yang terekam dan diputar melalui penuturan akan keluar phonem atau bunyi yang sama. Namun kenyataannya berbeda,, sehingga kerja mekanik yang selama ii kita kita pahami untuk proses proses panca indera masih perlu disempurnakan, kecuali memang jika "design audio" dari indra manusia memang berbeda-beda antar bangsa dengan bangsa lainnya 

Namun demikian jika kita perhatikan gejala onomatope suara horn bis malam yang digambarkan oleh anak-anak di Indonesia sebagai "telolet" dan ternyata mendunia denga onomatope yang sama "telolet", ini tentu sebuah penyelarasan dunia yang bagus. Bukan revolusi design audio diantara bangsa-bangsa yang sudah distel sama, tetapi sudah dibangun melalui persepsi yang berupa "tulisan", karena kita dapat melihat bahwa seirng beredarnya onomatope "telolet", meme-meme juga trsebar dengan berbagai variasi namun satu kata "telolet" tetap ditulis sama. Walaupun demikian ketika sudah menjadi kalimatb "Om telolet Om", maka akan memiliki multiinterpretasi, termasuk interpretasi yang berbau mesum" 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun