[caption caption="Guru di Kabupaten Belu, NTT. KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA"][/caption]Lain di Indonesia lain pula di Inggris. Di Indonesia, guru-guru yang telah mengabdi (Honorer) yang terus mengabdi karena satu dan lain hal harus diberhentikan. Sementara di Inggris lebih dar 53 % guru justru ingin berhenti mengajar demikian hasil survei NASUWT guru merasakan tingkat kepuasan mereka semakin turun dalam setahun terakhir. Hampir dua pertiga (65%) mempertimbangkan untuk keluar, sementara 54% mempertimbangkan untuk berhenti total.
Ada beberapa alasan yang menjadi landasan niatan para guru di Inggris, paling tidak ada 4 (empat) kekhawatiran teratas guru di Inggris terkait pekerjaannya adalah beban kerja (78%), diikuti dengan perubahan pensiun (51%), gaji (45%) dan inspeksi sekolah (41%).
Beban kerja, yang menjadi alasan tertinggi (78 %) bagi guru untuk berhenti menjadi guru memang terkait pada administrasi guru. Walaupan guru sepertinya dapat dengan mudah melaksanakan tugasnya, mengajar sebenarnya mengandung banyak rintangan —mengatasi kelas yang muridnya terlalu banyak, pekerjaan catat-mencatat yang terlalu banyak, birokrasi yang terlalu rumit, murid-murid yang tidak menyimak, dan gaji yang kurang memadai.
Beruntung di Indonesia banyak guru memiliki tingkat spiritualitas tinggi, di mana sebagian besar guru yakin bahwa tidak diartikan hanya berasal dari gaji. Banyak guru yang mendidik dengan ikhlas meski gajinya di bawah satu juta rupiah di Jakarta, terutama guru-guru yang mendidik di sekolah swasta yang muridnya berasal berskala ekonom bawah.
Dengan keyakinan itu, banyak guru yang tetap mendidik meski harus mencari tambahan dengan ngojek, jualan maupun usaha lain yang halal dan terhormat. Sehingga masalah gaji jarang menjadi alasan guru guru untuk tidak mendidik anak bangsa meskipun di Inggris hal itu menjadi masalah bagi 45 % gurunya.
Beban kerja sangat potensial menjadi alasan bagi guru di Indonesia mengikuti jejak guru di Inggris. Dengan beban kerja 24 Jam mengajar, maka jika rata-rata mata pelajaran adalah 2 jam pelajaran, maka guru memerlukan mengajar di 12 kelas. Jika Tiap kelas adalah 35 murid, maka guru harus menghandle 420 murid yang diajarnya.
Masalah penilaian bagi 420 peserta didik dengan kurikulum 2013 itu tidak mudah. Paling tidak, guru harus mengisi 420 halaman penilaian porto folio dengan sekian item, 420 halaman penilaian self assesment, 420 halaman peer assesment, 420 halaman penilaian produk, 420 penilaian portofolio dan rekapitulasinya beserta analisis hasil pekerjaan peserta didik.
Plus 12 kelas dikali sejumlah jenis penilaian pengetahuan, praktikum, lembar obserfasi, jurnal, 420 X 6 (6 kali praktikum) bendel laporan praktikum, ulangan ditambah berbagai administrasi guru lainnya seperti Prota, Promes, Analisis KI/KD, Analisi KKM, RPP, penyiapan bahan ajar dll.
Jika di Inggris Inspeksi sekolah menjadi penyebab makin meningkatnya guru yang ingin berhenti mengajar, maka di Indonesia, terutama di Jakarta, khususnya Jakarta Timur kemungkinan Inspeksi Pengawas, yang direncanakan akan hadir tiap minggu di sekolah akan menjadi tambahan beban bagi guru yang kemudian menimbulkan ketidakbetahan guru untuk tetap berprofesi sebagai pendidik.
Benang merah uraian di atas adalah, bahwa Indonesia, terutama Kemendikbud, lebih khusus lagi Dirjen P2TK harus mengantisipasi dan melakukan langkah-langkah yang perlu agar apa yang terjadi di Inggris menimpa dunia pendidikan kita.
Apalagi, mengingat semakin baiknya kondisi perekonomian kita di mana kemungkinan banyak lapangan kerja yang jauh lebih menarik dari pada menjadi guru. Ini bisa kita tengok ke belakang, bahwa banyak mereka yang berpendidikan keguruan enggan menjadi guru, dan banyak guru yang memilih migrasi mencari kerja lain yang jauh lebih menjanjikan.
Lebih dari itu, semoga pemerintah juga sadar, pada guru-guru honorer (K2) dan guru swasta yang selama ini mengabdi dengan segala ketukusannya. Jadi ketika profesi guru mengalami perbaikan kesejahteraannya, mereka jangan diperlakukan “bak kacang lupa kulitnya”, habis manis sepah dibuang.
Guru-guru muda yang fresh dan pintar, belum tentu bisa sabar seperti mereka, dan sudah barang tentu guru non PNS baik Guru honorer maupun Guru Swasta sama-sama mencerdaskan anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H