Parpol adalah tulang punggung demokrasi. Melalui parpol pendidikan politik dilaksanakan dan terjadinya regenerasi kepemimpinan. Jangan terlena dengan apa yang terjadi , seperti yang Ahok lakukan, Apa yang terjadi pada Ahok adalah ahibat ketidak mampuan Ahok dalam melakukan komunikasi politik. Dia membenarkan perilakunya dengan upaya Deparpolisasi, yang semakin menunjukan kekerdilannya dan sikap kurang terpujinya, padahal selama ini, baik melalui golkar, kemudian Gerindra Ahok menjadi seperti yang sekarang ini. Sayangnya semua itu tidak disertai tumbuhnya kedewasaan politik pada Ahok.
PDIP atau partai lain harus belajar dari kasus Ahok - Gerindra setelah Ahok "jadi", yang boleh dibilang bagai "kacang lupa akan kulitnya". Orang Jawa bilang, watek digawa ngurek, watak akan terbawa sampai mati, dan karakter Ahok yang seperti itu, akan terus seperti itu, karena Ahok sudah memasuki kematangan kepribadian. Apalagi bagi mereka yang pernah diusung oleh parati politik, seperti Ahok misalnya, menafikan peran Partai Politik sama saja bunuh diri.
Posisi demi posisi yang diraih oleh Ahok baik ketika di Golkar, di Gerindra, maupun atas bantuan PDI Perjuangan Ahok naik dengan faktor Jokowinya, sudah seharusnya dibalas Ahok dengan menjadi teladan bagi partai-partai itu untuk menumbuhkan regenerasi kepemimpinan kader partai yang pada ahirnya menjadi proses regenerasi kepemimpinan nasional sesuai dengan undang undang tentang Partai Politik.
Sudah barang tentu regenerasi kepemimpinan dipartai ataupun karya-karya partai untuk mensejahterkan masyarakat dilakukan oleh kader partai dan terutama kader partai yang memiliki kemampuan sebagai komitmen dan integritas diri sebagai kader partai yang telah membesarkannya.
Dari proses perpindahan-perpindahan serta raihan-raihan jabatan/posisi hingga saat ini, terlihat bahwa Ahok adalah tipical pribadi Oportunitis yang berbekal kemampuannya, menahapi ambisinya tanpa memikirkan amanah kekaderan. Partai yang menawarkan posisi lebih tinggi itulah yang dipilih Ahok.
Ketika Ahok melihat posisi dirinya saat ini, yang disertai data-data sementara tentang elektabilitas, Ahok terjebak pada sikap oportunitisnya memanfaatkan itu untuk meneguhkan dirinya bisa naik tanpa siapapun terutama Partai Politik.
Jelas sekiranya Ahok mau belajar dan sadar, maka sebenarnya Ahok akan memahami bahwa semua yang diraih saat ini bukan karena Apa yang Ahok miliki sendiri, tetapi adalah hasil kerja kolektif yang bekerja secara efektif. Kerja demikian dalam partai dilakukan melaui mesin-mesin politik partai, oleh para relawan dalam hal ini adalah kader-kader partai. Jangan dikira kalau di partai tidak ada reawan-relawan partai dengan kerja yang tulus.
Relawan kader partai jelas merupakan pejuang-pejuang militan yang yakin akan garis perjuangan partai. Relawan kerja partai yang militan berjuang tanpa pamrih. JIka Ahok melihat selama ini harus mengeluarkan uang dalam upayanya meraih jabatan-janatan, itu kembali pada amanah kekaderan yang tidak dilakukan oleh Ahok. Dapat dipastikan "relawan" musiman yang menargetkan bayaran jelas bukan kader partai yang militan.
Kader partai yang militan jika dia berhasil mencapai posisi tertentu, dia jelas makin militan mengembangkan dan menjaga nilai-nilai perjuangan partai dan melakukan tugasnya dengan penuh amanah karena dia tahu, identitas partai melekat pada dirinya. Jika dia kurang berhasil apalagi membuat kesalahan maka partai akan kena getahnya.
Jadi jika Ahok mengatakan partai belum mensejahteraan rakyat, itu menunjukan ketidakmengertian eksistensi partai politk dari seorang pejabat setinggi Ahok yang digadang-gandang rupanya oleh pihak-pihak yang kurang memahami politik juga. Kalau orang yang memahami politik dan partai politik, akan menjawab : Ya elo dan pejabat-pejabat yang diamanahi jabatan yang harus mensejahterkan rakyat ! Partaikan sudah mengamanahkan kepada Elo !
Tipikal pemimpin oportunis memang sangat menggejala dan merupakan hasil dari sebuah kehidupan berbangsa yang mengalami depolitisasi panjang selama orde baru. Depolitisasi kader-kader pemimipn bangsa yang tumbuh melalui oraganisasi-organsasi mahasiswa, benar-benar dikebiri dengan diterapkannyas sistem pendidikan yang diterapkan oleh orde baru melalui gerakan NKK nya saat Daud Josoef sebagai mentrinya. Proses pendidikan yang mencerabut mahasiswa dari realitas sosialnya karena dituntut mengejar IPK dalam sistem SKS inilah yang banyak melahirkan para penghuni menara gading, yang merasa nyaman di ketinggian posisi dan menikmatinya sendiri. Dan kita bisa melihat banyak pemimpin yang memiliki karakteristik seperti itu, menikmati nyamannya poisi tinggi dengan segala bentuknya tanpa komitmen sosial yang sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H