Mohon tunggu...
Darwono Guru Kita
Darwono Guru Kita Mohon Tunggu... profesional -

**************************************** \r\n DARWONO, ALUMNI PONDOK PESANTREN BUDI MULIA , FKH UGM, MANTAN AKTIVIS HMI, LEMBAGA DAKWAH KAMPUS JAMA'AH SHALAHUDDIN UGM, KPMDB, KAPPEMAJA dll *****************************************\r\n\r\n\r\n\r\n\r\nPemikiran di www.theholisticleadership.blogspot.com\r\n\r\nJejak aktivitas di youtube.com/doitsoteam. \r\n\r\n\r\n*****************************************\r\n\r\nSaat ini bekerja sebagai Pendidik, Penulis, Motivator/Trainer Nasional dan relawan Pengembangan Masyarakat serta Penggerak Penyembuhan Terpadu dan Cerdas Politik Untuk Indonesia Lebih baik\r\n*****************************************

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Heroisme yang Hilang

13 Agustus 2015   15:14 Diperbarui: 13 Agustus 2015   15:21 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jangan bertanya apa yang telah diberikan negara untukmu, namun bertanyalah apa yang telah kau berikan kepada negara" demikian rangkaian kata-kata patriotisme yang dikenal sebagai kata-kata mutiara dari mantan Presiden Kenedy. Konon, kata-kata ini sebenarnya berasal dari seorang guru yang memberikan memotivasi salah satu team sekolah tersebut dalam kompetisi olah raga yang lazim dilakukan di amerika waktu itu. 

Dari kata-kata seorang guru, kepada salah satu team olah raga sekolahnya, berkembang menjadi kalimat patriotisme negara paman Sam dan pada akhirnya bahkan meluas ke seluruh dunia. Hal ini berarti bahwa spirit dari lingkup kecil dapat berkembang menjadi lingkup yang lebih besar bahkan menasional. Itulah pelajaran penembuhan motivasi, semangat berjuang yang dapat dilakukan secara bertahap. 

Penumbuhan semangat heroisme seperti itu terasa sekali ketika penulis menjadi pelajar. Setiap kali akan berlomba baik gerak jalan, cerdas cermat, kasti, menyanyi dan lomba-lomba lain yang dilakukan begitu masuk bulan Agustus tiap tahunnya, atau lomba-lomba menjelang peringatan hari besar Nasional, para siswa dipompa spirit juangnya. Bahkan siswa lain yang mewakili dalam ikut lomba, turut bergelora semngatnya mendukung para "pahlawan" sekolahnya berjuang. Heroisme itu benar-benar ditumbuhkan melalui aktivitas langsung dan solidaritas mendukung perjuangan juga dikobarkan. Puncaknya pada Upacara Bendera 17 Agustus, kita sadar, ketika degup patriotisme dikobarkan, napak tilas perjuangan diungkapkan, kita semua menjadi terkoneksi dengan suasana riil, perjuangan mewakili sekolah atau kota yang dialami langsung oleh para siswa. 

Penumbuhan heroisme dari lingkup kecil seperti itulah yang saat ini terasa hilang, hanya karena kita, sekolah, kementrian dan jajarannya merasa harus mengamankan hari efektif sekolah agar target kurikulum tercapai. Para siswa sangat kurang mendapatkan pompaan pembinaan semangat juang riil dari aktivitas-aktivitas riil menyongsong Hari patriotik bagi  bangsa Indonesia. Peserta didik lebih diharuskan tetap berada di batas tembok-tembok kelas untuk belajar apa, mengejar materi belajar. 

Padahal jika kita menyadari sepenuhnya, maka kehilangan 2 kali tatap muka (biasa kegiatan 2 minggu, sejak awal Agustus) untuk mendapatkan belajar apa akan sangat tertutup dengan penumbuhan spirit heroisme melalui berbagai aktivitas menjelang hari-hari heroik tersebut. Penumbuhan patriotisme kolektif tersebut jauh lebih berarti sebagai bangsa dari pada sekedar mendapat pengetahuan tentang apa selama 2 kali pertemuan tatap muka di kelas. 

Saat ini generasi penerus masa depan bangsa, hanya diposisikan sebagai penonton dalam menyambut hari sangat bersejarah Hari Peringatan Proklamasi kemerdekaan RI. Hanya sebagian kecil pelajar yang terlibat sebatas petugas upacara atau yang terkait dengan hal itu, sehingga penumbuhan patriotisme kolektif yang sangat dibutuhkan bagi generasi yang sedang tumbuh tidak terjadi. Atau kah memang kita lebih senang menjadikan generasi penerus sebagai penonton dan sebagian kecil dari mereka yang menjadi pemain? 

Kita semua yang harus menjawab. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun