Mohon tunggu...
Darwono Guru Kita
Darwono Guru Kita Mohon Tunggu... profesional -

**************************************** \r\n DARWONO, ALUMNI PONDOK PESANTREN BUDI MULIA , FKH UGM, MANTAN AKTIVIS HMI, LEMBAGA DAKWAH KAMPUS JAMA'AH SHALAHUDDIN UGM, KPMDB, KAPPEMAJA dll *****************************************\r\n\r\n\r\n\r\n\r\nPemikiran di www.theholisticleadership.blogspot.com\r\n\r\nJejak aktivitas di youtube.com/doitsoteam. \r\n\r\n\r\n*****************************************\r\n\r\nSaat ini bekerja sebagai Pendidik, Penulis, Motivator/Trainer Nasional dan relawan Pengembangan Masyarakat serta Penggerak Penyembuhan Terpadu dan Cerdas Politik Untuk Indonesia Lebih baik\r\n*****************************************

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi-JK Lebih "Know How"

10 Juni 2014   20:26 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:23 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Debat Capres 9 Juni 2014  yang disiarkan langsung oleh SCTV, Indosiar, dan Berita Satu, menampilkan thema Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan yang Bersih, dan Kepastian Hukum. Daua pasangan Capres-Cawapres Jokowi _ JK dan Prahara telah menyampaikan thema itu dengan caranya masising-masing, termasuk dalam konteks positioning masing-masing. hal ini wajar saja, karena masing-masing punya fragment sasaran yang tertentu. Terkait dengan positioning ini, terlihat bahwa pasangan Jokowi lebih mengambil posisi Eksekutif sebagaimana tuntutan peran presiden nantinya. Dengan merngambil posisi ini, Jokowi_JK dalam setiap penjelasananya terasa lebih "Know How".  Sementara itu pasangan Prahara, Prabowo Hata rajasa lebih tampil konseptual. Dalam bahasa lain, Jokowi-JK berusaha membumikan setiap masalah, sementara Prahara menyampaikan gagasan-gagasan abstrak.

Kebijakan mengambil positioning demikian tetntu saja tidak terlepas dari target sasaran yang ingion direkrut untuk mendukung kedua pasangan capres-cawapres tersebut. Prahara lebih berorientasi pada masyarakat "konseptual" , yang tentu saja amat sangat digandrungi para pengamat, sementara Jokowi-JK lebih berorientasi pada mereka yang bergulat dengan maslah sehari-hari, masyarakat kebanyakan yang lebih membutuhkan penjelasan praktis. Jika hal ini yang diambil, maka dengan realitas struktur masyarakat yang ada, Prahara akan memuaskan para pengamat, sementara JWJK akan lebih memuaskan masyarakat kebanyakan.

Posisioning yang demikian sangat terlihat dalam penampilan kedua pasanga itu, meski terlihat hati-hati, Jokowi JK berusaha tampil menggunakan komunikasi emphatik dalam mendengarkan paparan kompetitor, memaparkan maupun, mengajukan pertanyaan maupun menjelaskan. Jokowi = JK telah berhasil tampil sebagai team, sedang Prahara telah menampilkan 2 orang dengan berbagai perbedaannya. Ini sangat terlihat saat mereka berdua salaing berselisih dalam menyoroti demokrasi. Prabowo mengungkapkan bahwa demokrasi hanya sekedar alat, sedang Hata rajasa mengungkapkan bahwa demokrasi bukan sekedar alat dalam konteks berbangsa.

Sementara itu, Jokowi menekankan dalam pengertian operasional bahwa demokrasi adalah memperjuangkan kepentingan rakyat oleh karena itu kita harus mendengarkan apa maunya rakyat dan melaksanakan dalam program-program pembangunannya, yang dipertegas dengan pemberian contoh dengan apa yang telah Jokowi lakukan terkait dengan tugasnya sebagai Wali kota Solo maupun Gubernur DKI.

Mengenai kemampuan mendengarkan, Ram Charam, dalam bukunya Know-How, mengungkapkan bahwa kemampuan mendedngarkan dengan fikiran terbuka , dan mengetahui apa sebenarnya yang diinginkan oleh orang lain sangatlah penting. Karena bersedia mendengarkan saja sudah dapat meredakan masalah , dfan hal ini membantu kita memahami arti "menang dan "kalah" bagi orang lain. Inilah yang disebut dengan Komunikasi Empatik. Dengan memahami dan mendengar orang lain terlebih dahulu, kita dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun kerjasama atau sinergi dengan orang lain.

Ketika orang lain berbicara, kita biasanya “mendengarkan” dalam salah satu dari empat tingkat. Kita mungkin mengabaikan orang itu, tyidak benar-benar mendengarkannya. Kita mungkin berpura-pura “yaa, hmm, benar”. Kita mungkin mendengar secara selektif, mendengar hanya bagian-bagian tertentu dari percakapan. Kita sering melakukan ini sewaktu mendengar celotehan terus menerus dari anak prasekolah. Atau kita mungkin mendengar secara atentif, menaruh perhatian dan memfokuskan energi pada kata-kata yang diucapkan. Tetapi sedikit sekali dari kita mempraktekan tingkat kelima, bentuk tertinggi dari mendengarkan, yaitu mendengar dengan empatik.

Kita memiliki kecendrungan untuk menyerbu masuk ke dalam masalah seseorang, untuk memberikan nasihat yang kita pikir dapat memperbaiki segala sesatu. Namun kenyataannya, cara itu sering kali justru malah memperburuk keadaan, sebab kita telah gagal meluangkan waktu untuk mendiagnosis, untuk benar-benar mengerti secara mendalam tentang permasalahannya. Mungkin banyak orang mengistilahkan hal ini sebagai “sok tahu”, atau tidak mau tahu apa yang terjadi pada orang itu, atau masalah orang itu.  Mungkin inilah yang terjadi saat Probowo terpancing secara emosional ketika JK menaykan masalah HAM kepadanya.

Sementara itu, dari body laguage Jokowi dan JK nampak pasangan ini mencoba menerapkan bagaimana mendengarkan dengan emphatik saat Prahara menyampaikan penjelasannya.endengarkan dengan empatik (dari kata empathy) maksudnya adalah berusaha lebih dulu untuk mengerti, untuk benar-benar mengerti; masuk ke dalam kerangka acuan orang lain. Kita memandang keluar melewati kerangka acuan itu, kita melihat dunia dengan cara mereka melihat dunia, kita mengerti paradigma mereka, kita mengerti bagaimana perasaan mereka. Intisari dari mendengarkan dengan empatik bukanlah bahwa Anda selalu setuju dengan seseorang, tetapi bahwa Anda sepenuhnya, secara mendalam, mengerti orang itu secara emosional sekaligus intelektual.
Mendengarkan secara empatik memerlukan jauh lebih banyak daripada sekedar merekam, merenungkan, atau bahkan mengerti kata-kata yang diucapkan. Para ahli komunikasi memperkirakan bahwa hanya 10% komunikasi kita diwakili oleh kata-kata yang diucapkan; 30% oleh suara; dan 60% oleh bahasa tubuh kita. Dalam mendengarkan secara empatik memang kita mendengarkan dengan telinga kita, tetapi lebih penting lagi kita juga mendengarkan dengan hati kita…

Ketika Anda mendengarkan orang lain dengan empati, Anda memberi kepada orang tersebut udara psikoligis. Segera sesudah kebutuhan penting itu terpenuhi, barulah Anda dapat berfokus pada pemberian pengaruh atau pemecahan masalah. Dengan komuniklasi emphatik, maka kita dapat memahami sekaligus memberi pemahaman berbagai hal yang mungkin berbeda. Kita dapat memberikan pemahaman tentang perda, kebijakan dan lain-lain yang mungkin belum bisa diterima oleh masyarakat dengan cara yang masyakat pahami.

JIka demikan yang terjadi semalam, maka pasngan JWJK akan merebut hati masyarakat luas meski untuk kalangan pengamat terutama yang lebih cenderng pada pendekatan theoritik terutama teori-teori retorika maka pasangan Prahara lebih enank untuk didengarkan.  Namun demikian, sudah barang tentu kita harus memilih sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh Indonesia. Dalam berbagai kesempatan kita selalu menyatakan bahwa Indonesia itu mengalami salah pengelolaan, oleh karena itu, yang lebih dibutuhkan bangsa ini adalah pemimpin yang mampu mengelola dengan benar, pemimpin yang "Know How" mengelola Indonesia sesuai nilai-nilai ideal bangsa.

Semoga bangsa Indonesia tidak terjebak pada perangkap retorika dan permainan kata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun