Mohon tunggu...
Darwis Jamal Takdir
Darwis Jamal Takdir Mohon Tunggu... profesional -

Menulis adalah bagian dari jiwa dalam kehidupan saya untuk selalu menyuarakan kebenaran Tuhan. Karena itu, suara hati menjadi cermin dalam melihat kebenaran sesungguhnya. Ketua Lembaga Dakwah Ukhuwatul Islamiyah Pusat Gowa, Sulawesi Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyiasati Dehumanisasi Pendidikan Melalui Pembangunan Karakter

5 Mei 2011   04:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:04 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyelenggaraan pendidikan karakter yang diharapkan pemerintahterintegrasi ke dalam semua mata pelajaran di sekolah, bukan halbaru dalamdunia pendidikan. Sebab hal serupa, sebelumnya juga berlaku pada pendidikan agama dalam semua mata pelajaran mulai tingkat sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas. Hanya saja, kebijakan pemerintah saat itu tidak berjalan optimalsesuai UU Sistem Pendidikan Nasionalkarena pendidikan agama cenderunghanya sebagai bahan pelengkap mata ajar dalam kurikulum pendidikan nasional.Akibatnya, pendidikan nasional kering dari nilai-nilai spiritualitas, bahkan mengalami dehuminasi (pengikisan nilai-nilai kemanusian) yang berimplikasi jauh terhadap munculnya kekerasan, anarkisme dan tawuran antarsesama pelajar serta mahasiswa.

Pembangunan pendidikan karakter yang timpang itu, antara lain dikemukakanDr. Mohammad Sabri AR, MA. Bahkan,DirekturLembagaStudiAgama dan Perubahan Sosial (LSAPS) UIN Alauddin Makassar ini menegaskan, pendidikan nasional gagal membangun moral bangsa yang bertumpuh padakecerahan spiritual secara holistik. Sebaliknya, kebijakan pendidikan nasional lebih diarahkan pada penekanan kecedasan intelektual dimana tidak mampumenjawab segala problematika bangsa dan kemanusiaan terutama praktikkorupsi yang sudah menjadi perilaku buruk bagi sebagian aparat penyelenggara negara. “Kini pendidikan nasional sepertinyakehilangan makna karena agama sebagai sumber spirit dari sebuah bangsa yang beradab, bermoral dan berkarakter sesuai jati diri bangsa nyaris tidak memberi pengaruh signifikan dalam proses penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Termasuk di sekolah dan perguruan tinggi sebagai pemasok sumberdaya manusia belakangan ini cenderung menjadi sebuah arena pertunjukan kekerasan,’’ jelas pembantu Dekan I Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar.

Penjelasan mantan Kepala Pusat Penelitian UIN Alauddin Makassar itu,bukan tanpa alasan ilmiah. Bahkan, dia menuturkan munculnya sikapkekerasan dan demo anarkisme belakangan ini marak di hampir semua daerah khususnya Makassar cenderung melahirkan sebuah potret buram bagi dunia pendidikan yang nyaris telah kehilangan roh dan tanpa makna. Masalahnyapendidikan agama sebagai sumber moral dan spirit dalam membangun masyarakat yang beradab, sepertinya tidak menjadi penting bagi sebagian pengelola lembaga pendidikan formal dan norfomal termasuk masyarakat sebagai subjek pendidikan dalam konteks luas.

Meski sudah menjadi pengetahuan semua orang kalau pelajaran pendidikan agama hanya memiliki alokasi waktu hanya dua jam selama satu minggu. Sementara pelajaran umum seperti IPA, Matematika rata-rata antaraenam sampai delapan jam selama satu minggu. MenurutDrs. H Abd Rahman Halim, M.Ag, pengamat Pendidikan UIN Alauddin, dua jam mata pelajaran agama Islam di sekolah, apa yang bisa diharapkan untuk membangunkarakterdan moral peserta didik. Bahkan, sistem pendidikan yang diselenggarakan di negeri ini sepertinya hanya menggiring peserta didik hanya cerdas segi intelektulnya, tapi segi spiritualitasnya terabaikan dan mengalami kekosongan.Akibatnya, pendidikan nasional sekarang mengalami dehuminasasi sertakehilangan arah. Dan bahayanya, pendidikan yang kosong dari nilai kemanusiaan, antara lain praktik KKN akan menjadi-jadi, pengrusakan alam lingkungan dan akanmelahirkan kebencian terhadap sesama manusia maupun kelompok yang cenderung menjurus masalah SARA.

Munculnya berbagai aksi demo yang menjurus anarkisme dan tawurandengan melibatkanantar pelajar dan mahasiswa, Rahman Halim menilai, tak lepasdari dampak dehumanisasi pendidikan yang banyak dirasukikemajuanmodernisasi danpemahaman sekularism.Muaranya adalah merusak tatanan dunia pendidikan dan karakter anak bangsa. Apalagi, kalau siswa dan mahasiswa melakukan demo anarkisme hingga merusak simbol-simbol Negaraseperti mencacimaki presiden termasuk merusak fasilitas umum,sebuah ironidalam dunia pendidikan. Tapi itulah dampak sebuah sistem pendidikannasional yang dijalankan hanya mengutamakan keunggulan akademik atau intelektual semata, sementara pengembangan kecerdasan spiritual sebagai esensiutamapendidikanterlupakan dalam realitas proses belajar mengajar .

Sepertikalangan lainnya,Abd RahmanHalimmengatakan, kurikulumyang ada saat inijustru menjejali anak-anakdengan banyak mata pelajaranbelum tenturelevan dengankehidupan. Pembelajarandi sekolah tidakmemberikan ruanguntukmendukung tumbuhnya nilai-nioaipositifdalam diri anak.Sistempendidikanmasih fokuspadapengembangansatu kecerdasan saja yakniaspek kognitifnya, sedangaspek afektif dan psikomotoriknyaris terabaikandalam prosesevaluasi. Tiga ranahpendidikanitu merupakan satu kesatuanyang tak terpisahkan dalammencapai tujuanpendidikannasional.

Terkait pengembangan pendidikan karakter yang ditawarkan pemerintah dan penjabarannya berintegrasi dalam semua mata pelajaran di sekolah,Mohammad Sabri menilai, sebuah wacana pemikiran yang tidak utuh dan bertujuan hanya untukmenyiasati dan menekan aksi kekerasan dalamduniapendidikan seperti aksi demo dan tawuran kalangan pelajaran. Bagi dia,pendidikan karakterharusdibangun berdasarkan pemikiran uituh yang dimulai dari kesadaran ego manusia yang meliputi dua aspek; subyect dan, identity.

Menurut Mohammad Sabri, jika aspek subyekadalah natur atau kodrat, maka identity adalah melahirkan kesadaran identitas diri dan identitas sosial.Namun, pendidikan karakter yang dibangun dari kesadaran identity sangat menentukan proses lahirnya pendidikan karakter yang utuh dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.

Mencari Kucing Hitam

Sementarakalangan lainnyamengatakan, mengembangkan pendidikan karakter itu ibarat mencari kucing hitam dalam kamar yang gelap. Gambarankucing hitam menunjukpadaberbagaimacam tematerbuka yang harus dipertimbangkan secara serius oleh setiap pendidik dan para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan.

Kendati diskursus ini terbuka dan menarik dibicarakan di berbagai tempatdengan melibatkan banyak pihak. Sehingga pendidikan karakter dirasa perlukehadirannya baik berkaitan dengan pengembanganpembentukan diri individu secara utuh maupun dampak-dampak pembentukan karakter bagikelangsungan sebuah masyarakat.

Klaim pemahaman tentang pendidikan karakter bisa melibatkan berbagai macam kepentingan, sepeti politik, budaya, agama, sosial dan pendidikan itu sendiri.Meski begitu, pendidikan karakter dapat dikermbangkan melalui tigapendekatan; pertama fokus bagi pendidikan karakter, kedua metodologi dan ketiga evaluasi.

Seperti dikutip diHarian Kompas dalam halaman opini, Doni Koesoema,A, pemerhati pendidikan nasional, mengatakan, tiga fokuspendidikan karakter memang mendominasi berbagai wacana dan pemikirtanbanyak pihak. Pertama, pendidikan karakter memusatkan diri pada pengajaran (teaching values). Kedua, pendidikan karakter yang memusatkan diri pada klarifikasi nilai (value clarification) dan Ketiga, pendidikan karakter menggunakan pendekatan pertumbuhan moral (character development).

Pendidikan karakter yang berpusat pada pengajaran mengutamakan isi nilai-nilaitertentu yang harus dipelajari serta sekumpulan kualitas keutamaanmoral seperti kejujuran, keberanian dan kemurahan hati agar diketahui dan dipahamioleh siswa. Klarifikasi nilai, lebih mengutamakan proses penalaran moral serta pemilihan nilai yang harus dimiliki oleh siswa. Sedangkan fokuspada pertumbuhan karakter moral mengutamakan perilaku yang merefleksikanpenerimaan nilai serta menekankan unsur motivasi serta aspek-aspekkepribadian yang relatif stabil dalam mengarahkan tindakan individu.

Fokus pertama, menurut Doni, mengutamakan pengetahuan danpengertian(intelektual), fokus kedua mengutamakan perilakutetapi tetap sajamereka memberikan prioritas pada pemahaman serta proses pembentukan dan pemilihan nilai. Sedangkan fokus ketiga mengutamakan pertumbuhan motivasiinternal dalam membentuk nilai selaras dengan tahap-tahap perkembangan moral individu.

Berkaitan dengan fokus metodelogi, pendidikan karakter dengan cara memberikanpelajaran khusus seperti ketika masa Orde Baru melalui pelajaran wajib Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dikuatirkan akan menjerumuskanpendidikan karakter pada indoktrinasi nalar dan daya kritis siswa. Pendekatankarakter seperti ini kerap dilakukan melalui berbagai macam cara, sepertimelalui mata ape;lajaran khusus, integrasi pendidikan dalam setiap mata pelajaran ataupendekatan integral yang menggunakan ruang-ruangpendidikanyang tersedia dalam keseluruhan dinamika pendidikan di sekolah.

Apapun metodologi yang dipilih setiap pengembangan pendidikan karakter akan memiliki konsekuensi berkaitan dengan kesiapan tenaga guru, prioritasnilai, kesamaan visi antara anggota komunitas sekolah tentang pendidikan karakter, strukturdan sistem pembelajaran, kebijakan sekolah dan dukunganmasyarakat.

Berbeda halnya fokus evaluasi, Doni mengungkap, pendekatan yang satu ini kerap membingungkan ketika berbicara tentang pendidikan karakter. Masalahnya, evaluasi adalah cara dan tujuan evaluasi yang sering kalidianggapsebagai bidang yang sulit untuk diukur, dinilaidan dievaluasi.

Masalah evaluasi yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan karakter. Apakahevaluaiharus dikaitkan dengan kenaikan kelas atau kelulusan, sepertiyang selama ini dianjurkan pemerintah dimana penilaian budi pekerti, perilaku, sikap dan kejujuran bisa menjadi alasan untuk tidak menaikkan atau meluluskan siswa.

Realitasnya, kriteria penilaian yang sumir seperti ini seringkali hanya sekadarmenjadi macan kertas dan tidak terjadi di lapangan. Asal anak lulus ujian nasional, persoalan budi pekerti, moral, perilaku siswatampaknya masih bisa diabaikan dan dikompromikan dengan berbagai dalih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun